Hak-hak petani di Indoensia tidak tercantum dalam UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) dan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT).Kedua peraturan perundangan itu hanya melindungi hak-hak pemulia varietas tanaman atau pembenih yang biasanya merupakan perusahaan benih.
Demikian menurut Agus Sardjono sebagai Ahli Hukum dari Universitas Indonesia (UI), saat dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Jakarta (10/2).
UU PVT tidak ada urusannya dengan petani tetapi dengan pembenih, karena tidak melindungi petani tetapi pembenih. “Masalah yang dihadapi petani terkait UU PVT hanya sebagai konsumen benih dan sering diancam oleh yang mengaku-ngaku atas varietas tertentu,” kata Sardjono.
Menurutnya, UU PVT merupakan salah satu dari sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan berasal dari luar negeri. Sehingga di dalam konsep HKI ada doktrin atau latar belakang yang berbeda dengan di Indonesia.
Terkait UU PVT, benih di Indonesia dibedakan atas benih yang dilindungi PVT dan tidak dilindungi PVT. Di Indonesia, kurang dari 10 varietas tanaman yang mendapat sertifikasi PVT, sehingga masih ada kesempatan terbuka sangat luas atas varietas.
Pengertian dalam pasal 1 point 1, PVT adalah perlindungan khusus varietas yang diberikan oleh negara. Kalau negara mau melindungi varietas tanaman oleh pemulia, maka tidak terkait petani. Yang sering terkait adalah perusahaan benih.
PVT diberikan kepada individu yang sudah melakukan pemuliaan. Bila perusahaan telah melakukan riset dan memproduksi benih dengan membayar pegawai dan laboratorium, maka dapat meminta perlindungan dan monopoli juga.
Menurut Sardjono, pembuatan UU PVT tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Terlebih lagi dalam pembuatannya, pemerintah maupun DPR tidak pernah melibatkan petani dengan alasan akan memakan waktu lama.
Pemberian perlindungan melalui UU PVT tidak secara otomatis. Negara akan memberi perlindungan kalau pemulia mendaftarkan. ”Jadi yang belum mendaftar tidak mendapat perlindungan. Sehingga bisa dikatakan sistem ini butuh keaktifan kita sebagai pemulia. Nah itu yang masih belum ada,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UI ini.
Selain itu menurutnya, negara juga akan melakukan perlindungan kalau sudah memenuhi syarat. Sampai sekarang varietas yang mendapat perlindungan hanya kurang dari 10, karena jasa konsultanya mahal.
Syarat mendapatkan perlindungan varietas tanaman yaitu varietas baru (bukan yang tidak ada menjadi ada, tetapi hasil panen dari benih yang belum pernah diperdagangkan), varietas bersifat unik (dapat dibedakan dari varietas lain), stabil meski ditanam berulang (tidak seperti hibrida yang tidak dapat ditanam ulang sehingga harus membeli benih terus).
Lalu seragam (meski ditanam di tempat berbeda), diberi nama (ada jeruk Bali, jeruk Pontianak, durian Montong dsb), ada jangka waktu perlindungan (untuk tanaman musiman 20 tahun, tanaman tahunan 25 tahun. Setelah habis jangka waktu itu varietas tanaman bebas ditanam siapa saja.
UU PVT dapat dikatakan memberi hak eksklusif tetapi monopoli. Tujuannya sebetulnya mulia yaitu aslinya HKI adalah melindungi orang-orang yang kreatif. Masalahnya yang sering terjadi, mereka tidak mempunyai uang, lalu bekerja ke pihak lain dan mendapat gaji, tetapi kretifitasnya menjadi milik orang lain (perusahaan atau instansi lain) yang membayar. Maka mereka yang membayar yang memanfaatkan ide itu.
Dimana posisi petani?
Dalam hal ini kalau petani mau menjadi pemulia, maka harus memahami UU PVT dan SBT, kalau tidak, maka hanya berpikir sebagai pembeli atau konsumen benih saja. Tetapi ternyata setelah mendapat benih baru, sebelum mengedarkan hasil pemuliaan tersebut, pemulia harus memenuhi UU SBT atau lebih dulu melewati pelepasan. Sebelum melewati pelepasan, varietas hasil pemuliaan dilarang diedarkan.
”Jadi bapak-bapak petani bila melakukan pemuliaan tidak mengggunakan PVT, tidak masalah. Tetapi masalahnya, walaupun benih diedarkan harus hati-hati, karena bisa diancam UU SBT. Siapa yang tau UU SBT? Tidak ada yang tau. Saya juga baru tau setelah kasus Kediri,” jelas Sardjono.
Dijelaskannya bahwa varietas tanaman yang bisa dilepas harus melewati sertifikasi. Tanpa proses sertifikasi, pengedaran benih tidak boleh. Padahal proses sertifikasi yang benar, syaratnya berat, harus ada sekian contoh di atas sekian hektar.
Kalau memenuhi syarat akan keluar label benih aman. Di sini nampak tujuan mulianya yaitu agar kita tidak menanam benih yang salah, misal yang predator (makan) varietas yang sejenis, seperti transgenik (rekayasa genetik). Tetapi pelakunya yang tidak mulia, yang menuduh petani telah melakukan sertifikasi. Petani yang tidak melakukan sertifikasi diputus salah.
Benih yang sudah dilabel baru bisa diedarkan. Untuk sampai pada tahap ini, syaratnya banyak yang belum tau termasuk konsultan hukum.
Tidak Menguntungkan Petani
Nurul Barizah sebagai Ahli Hukum dari Universitas Airlangga juga berpendapat bahwa kedua UU tersebut (UU PVT, SBT) bersama UU Paten sama sekali tidak menguntungkan petani. Karena memang tidak dirancang untuk menguntungkan dan melindungi petani. UU itu hanya dirancang untuk melindungi peneliti, industri pertanian dan bioteknologi. Sebagai bagian dari perjanjian ekonomi global, WTO.
Menurutnya, UU PVT dan SBT tidak memberi perlindungan hak-hak petani. Di dalam perundang-undangan tersebut tidak ada hak menanam kembali, berbagi (sharing). Petani hanya boleh menyimpan benih untuk ditanam di musim berikutnya sepanjang untuk kepentingannya sendiri, bukan diberikan kepada orang lain.
UU tersebut hanya mengatur bibit unggul dan introduksi dari luar negeri, tidak menyinggung bibit dari petani. ”Sebaliknya kalau setiap pasal diamati, negara mengontrol semua proses budidaya, termasuk membuka lahan agar tidak serampangan, tapi harus bisa teratur, menanam dan memanen agar keseimbangan lingkungan tidak terganggu,” ungkap Barizah.
Terkait kebijakan mengawasi benih, UU PVT dan SBT awalnya bisa diartikan sangat baik. Tetapi bila pengawasannya berlebihan akan menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, petani bisa saja diharuskan minta ijin ke pemerintah untuk menggunakan benih yang sudah dekat (familier) dengan mereka. Sehingga seperti menjauhkan petani dari varietas yang sudah terbiasa digunakannya sehari-hari.
Namun menurut Barizah, meski negara berhak mengawasi benih dibenarkan menurut konsep kedaulatan negara, ternyata kalau dilihat dari Perjanjian Internasional tentang Sumberdaya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian, dimana Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 4 2004 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, pengawasan (kontrol) pada varietas lokal seharusnya diberikan pada petani dan komunitasnya.
Tidak jauh berbeda dengan kedua UU di atas, UU No. 14 2001 tentang Paten juga tidak mengatur hak-hak petani, karena tidak memberi perlindungan pada benih, hanya proses varietas baru, atau caranya yang dilindungi.
Dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Jakarta berlangsung pada 10-11 Februari 2009 bersamaan dengan Munas API Ketiga yang berlangsung pada 10-13 Februari 2009 di Griya Alam Ciganjur, Jakarta.
[Ani Purwati - 13 Feb 2009]
Demikian menurut Agus Sardjono sebagai Ahli Hukum dari Universitas Indonesia (UI), saat dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Jakarta (10/2).
UU PVT tidak ada urusannya dengan petani tetapi dengan pembenih, karena tidak melindungi petani tetapi pembenih. “Masalah yang dihadapi petani terkait UU PVT hanya sebagai konsumen benih dan sering diancam oleh yang mengaku-ngaku atas varietas tertentu,” kata Sardjono.
Menurutnya, UU PVT merupakan salah satu dari sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan berasal dari luar negeri. Sehingga di dalam konsep HKI ada doktrin atau latar belakang yang berbeda dengan di Indonesia.
Terkait UU PVT, benih di Indonesia dibedakan atas benih yang dilindungi PVT dan tidak dilindungi PVT. Di Indonesia, kurang dari 10 varietas tanaman yang mendapat sertifikasi PVT, sehingga masih ada kesempatan terbuka sangat luas atas varietas.
Pengertian dalam pasal 1 point 1, PVT adalah perlindungan khusus varietas yang diberikan oleh negara. Kalau negara mau melindungi varietas tanaman oleh pemulia, maka tidak terkait petani. Yang sering terkait adalah perusahaan benih.
PVT diberikan kepada individu yang sudah melakukan pemuliaan. Bila perusahaan telah melakukan riset dan memproduksi benih dengan membayar pegawai dan laboratorium, maka dapat meminta perlindungan dan monopoli juga.
Menurut Sardjono, pembuatan UU PVT tersebut dapat dikatakan tidak sempurna. Terlebih lagi dalam pembuatannya, pemerintah maupun DPR tidak pernah melibatkan petani dengan alasan akan memakan waktu lama.
Pemberian perlindungan melalui UU PVT tidak secara otomatis. Negara akan memberi perlindungan kalau pemulia mendaftarkan. ”Jadi yang belum mendaftar tidak mendapat perlindungan. Sehingga bisa dikatakan sistem ini butuh keaktifan kita sebagai pemulia. Nah itu yang masih belum ada,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UI ini.
Selain itu menurutnya, negara juga akan melakukan perlindungan kalau sudah memenuhi syarat. Sampai sekarang varietas yang mendapat perlindungan hanya kurang dari 10, karena jasa konsultanya mahal.
Syarat mendapatkan perlindungan varietas tanaman yaitu varietas baru (bukan yang tidak ada menjadi ada, tetapi hasil panen dari benih yang belum pernah diperdagangkan), varietas bersifat unik (dapat dibedakan dari varietas lain), stabil meski ditanam berulang (tidak seperti hibrida yang tidak dapat ditanam ulang sehingga harus membeli benih terus).
Lalu seragam (meski ditanam di tempat berbeda), diberi nama (ada jeruk Bali, jeruk Pontianak, durian Montong dsb), ada jangka waktu perlindungan (untuk tanaman musiman 20 tahun, tanaman tahunan 25 tahun. Setelah habis jangka waktu itu varietas tanaman bebas ditanam siapa saja.
UU PVT dapat dikatakan memberi hak eksklusif tetapi monopoli. Tujuannya sebetulnya mulia yaitu aslinya HKI adalah melindungi orang-orang yang kreatif. Masalahnya yang sering terjadi, mereka tidak mempunyai uang, lalu bekerja ke pihak lain dan mendapat gaji, tetapi kretifitasnya menjadi milik orang lain (perusahaan atau instansi lain) yang membayar. Maka mereka yang membayar yang memanfaatkan ide itu.
Dimana posisi petani?
Dalam hal ini kalau petani mau menjadi pemulia, maka harus memahami UU PVT dan SBT, kalau tidak, maka hanya berpikir sebagai pembeli atau konsumen benih saja. Tetapi ternyata setelah mendapat benih baru, sebelum mengedarkan hasil pemuliaan tersebut, pemulia harus memenuhi UU SBT atau lebih dulu melewati pelepasan. Sebelum melewati pelepasan, varietas hasil pemuliaan dilarang diedarkan.
”Jadi bapak-bapak petani bila melakukan pemuliaan tidak mengggunakan PVT, tidak masalah. Tetapi masalahnya, walaupun benih diedarkan harus hati-hati, karena bisa diancam UU SBT. Siapa yang tau UU SBT? Tidak ada yang tau. Saya juga baru tau setelah kasus Kediri,” jelas Sardjono.
Dijelaskannya bahwa varietas tanaman yang bisa dilepas harus melewati sertifikasi. Tanpa proses sertifikasi, pengedaran benih tidak boleh. Padahal proses sertifikasi yang benar, syaratnya berat, harus ada sekian contoh di atas sekian hektar.
Kalau memenuhi syarat akan keluar label benih aman. Di sini nampak tujuan mulianya yaitu agar kita tidak menanam benih yang salah, misal yang predator (makan) varietas yang sejenis, seperti transgenik (rekayasa genetik). Tetapi pelakunya yang tidak mulia, yang menuduh petani telah melakukan sertifikasi. Petani yang tidak melakukan sertifikasi diputus salah.
Benih yang sudah dilabel baru bisa diedarkan. Untuk sampai pada tahap ini, syaratnya banyak yang belum tau termasuk konsultan hukum.
Tidak Menguntungkan Petani
Nurul Barizah sebagai Ahli Hukum dari Universitas Airlangga juga berpendapat bahwa kedua UU tersebut (UU PVT, SBT) bersama UU Paten sama sekali tidak menguntungkan petani. Karena memang tidak dirancang untuk menguntungkan dan melindungi petani. UU itu hanya dirancang untuk melindungi peneliti, industri pertanian dan bioteknologi. Sebagai bagian dari perjanjian ekonomi global, WTO.
Menurutnya, UU PVT dan SBT tidak memberi perlindungan hak-hak petani. Di dalam perundang-undangan tersebut tidak ada hak menanam kembali, berbagi (sharing). Petani hanya boleh menyimpan benih untuk ditanam di musim berikutnya sepanjang untuk kepentingannya sendiri, bukan diberikan kepada orang lain.
UU tersebut hanya mengatur bibit unggul dan introduksi dari luar negeri, tidak menyinggung bibit dari petani. ”Sebaliknya kalau setiap pasal diamati, negara mengontrol semua proses budidaya, termasuk membuka lahan agar tidak serampangan, tapi harus bisa teratur, menanam dan memanen agar keseimbangan lingkungan tidak terganggu,” ungkap Barizah.
Terkait kebijakan mengawasi benih, UU PVT dan SBT awalnya bisa diartikan sangat baik. Tetapi bila pengawasannya berlebihan akan menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, petani bisa saja diharuskan minta ijin ke pemerintah untuk menggunakan benih yang sudah dekat (familier) dengan mereka. Sehingga seperti menjauhkan petani dari varietas yang sudah terbiasa digunakannya sehari-hari.
Namun menurut Barizah, meski negara berhak mengawasi benih dibenarkan menurut konsep kedaulatan negara, ternyata kalau dilihat dari Perjanjian Internasional tentang Sumberdaya Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian, dimana Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 4 2004 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, pengawasan (kontrol) pada varietas lokal seharusnya diberikan pada petani dan komunitasnya.
Tidak jauh berbeda dengan kedua UU di atas, UU No. 14 2001 tentang Paten juga tidak mengatur hak-hak petani, karena tidak memberi perlindungan pada benih, hanya proses varietas baru, atau caranya yang dilindungi.
Dialog petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Jakarta berlangsung pada 10-11 Februari 2009 bersamaan dengan Munas API Ketiga yang berlangsung pada 10-13 Februari 2009 di Griya Alam Ciganjur, Jakarta.
[Ani Purwati - 13 Feb 2009]
0 komentar