Pengikut


Tulisan ini hendak mengemukakan nasib petani pemulia jagung di kabupaten Kediri semenjak tahun 2004-2007, 9 petani seperti bapak Tukirin, Suprapto, Budi Purwo Utomo, Jumidi, Dawam, Kusen, Slamet, Burhana Juwita Mochamad Ali dan Maman Nurrohman terpaksa berurusan dengan pengadilan dan masuk penjara dikarenakan melanggar UU No 12 Th 1992 yaitu UU Sistem Budidaya Tanaman. Pada saat tulisan ini dibuat, Seknas API bersama-sama anggota dan jaringan strategis di Jawa Timur dalam proses advokasi 3 petani jagung, bapak Misdi, Jumadi dan Kuncoro ditangkap oleh aparat kepolisian resort Kediri sejak bulan Desember 2009 hingga Januari 2010 dengan dakwaan menyimpan, mengedarkan dan memperjual belikan benih tanpa izin dan label.

Usaha-usaha untuk melakukan kampanye perlunya perubahan Undang-Undang tersebut dirasa perlu dan mendesak dimana Aliansi Petani Indonesia bekerjasama dengan para akedemisi bidang kepakaran perbenihan dan HAKI, KIBAR Kediri, Cakrawala Timur Surabaya, KKPM 193 Malang, Gerakan Mahasiswa di Kediri, IHCS Jakarta, Field Jakarta, IPPHTI Indramayu, IGJ Jakarta, TWN,praktisi hukum, UNDP New York, dan petani korban, untuk memahami secara utuh kebijakan perbenihan di Indonesia dimana salah satu fokus kajianya adalah implementasi UU SBT No 12 Th 1992.

Dengan demikian, supaya memiliki bobot, hasil investigasi lapangan dan pertemuan multi pihak tersebut kami rangkum dalam tulisan yang bertujuan sebagai pandangan, sikap dan pendapat untuk perubahan UU No 12 Th 1992 dimana harapannya, semoga dimasa mendatang para petani pemulia tanaman tidak ada penangkapan oleh aparat penegak hukum dikarenakan perubahan UU tersebut mencakup perlindungan petani.

Kelemahan Hukum
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, Indonesia memiliki hirarkis hukum yang dijadikan pedoman dan rujukan dalam menyelesaikan kasus. Produk hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Surat Keputusan (SK) Menteri, dan bab ketentuan pidana atau sanksi. Yang dijadikan pijakan pertama adalah UU sebagai turunan pertama dari UUD, dimana kasus dapat ditindak bila sudah diterbitkan UU-nya. Kemudian Peraturan Pemerintah, yang merupakan petunjuk pelaksana dari UU, yaitu kasus dapat ditindak bila sudah ada PP. Dan SK Menteri yang merupakan pelengkap sebagai bahan pertimbangan dalam menangani kasus.

Dalam perbenihan, regulasi yang berlaku meliputi UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 tahun 1992, PP tentang Perbenihan Tanaman No.44 tahun 1995, KepMentan No.803/Kpts/ OT.210/7/97 tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina, Kep Mentan No.1017/Kpts/OT/TP.120/ 12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin pemasukan benih dan pengeluaran benih bina, serta peraturan perbenihan lainnya yang masih berlaku. Ternyata dalam pelaksanaannya, peraturan ini masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu. Terutama, banyak celah ditemukan pada tingkatan UU yang menyebabkan sulitnya hakim untuk memutuskan dakwaan.

Sebagai contoh kasus Tukirin dan Suprapto. Pada mulanya pasal yang dikenakan pada Tukirin dan Suprapto adalah pencurian benih, namun tidak terbukti. Tuduhan pun beralih pada penjiplakan cara budidaya. Tukirin dan Suprapto pada persidangan ketiga divonis melanggar pasal 61 (1) “6”junto pasal 14 (1) UU No.12 tahun 1992 tentang sistem Budidaya yaitu melakukan sertifikasi liar. Sanksi yang diterima oleh mereka adalah hukuman percobaan selama satu tahun dan tidak diperbolehkan melakukan penanaman jagung untuk pembenihan. Hal yang sama diberlakukan juga kepada petani lainnya di Kediri, yakni Slamet dan Kusen yang dihukum 3 bulan percobaan

UU No. 12 tahun 1992, tidak sesuai jika dikenakan pada kasus ini. Kegiatan sertifikasi liar terkait dengan perbuatan mengedarkan benih dengan label palsu atau proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan prosedur. Kewajiban sertifikasi diberlakukan pada benih dari varietas unggul yang telah dilepas dan benih introduksi. Sedangkan benih yang ditanam dan disilangkan oleh Tukirin adalah benih yang telah dilepas dan diedarkan oleh PT. BISI. Berdasarkan keputusan Menteri Nomor 803/Kpts/OT.210/7/97 mengenai sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina. Benih hibrida yang dijual bebas dipasaran termasuk kategori benih sebar dengan label biru. Keputusan menteri ini tidak mencantumkan mengenai dilarangnya pengembangan benih dengan label biru. Sehingga apa yang dilakukan oleh Tukirin merupakan tindakan legal.

Aktifitas penanaman silang tida ada kaitannya dengan aktivitas sertifikasi liar. Pembuatan benih untu ditanam sendiri ataupun diperjual belikan antar petani sudah menjadi warisan budaya Indonesia.

Disamping itu, UU No 12/1992 tidak mengatur atas pelanggaran Hak Paten. UU No 12/1992 di antaranya mengatur sanksi pidana bagi pihak yang melakukan budi daya tanaman tanpa izin dan/atau sertifikasi tanpa izin. Namun pengadilan kurang memperhatikan bahwa budi daya tanaman dan sertifikasi yang diwajibkan memperoleh izin, hanya berlaku bagi pembubidayaan skala tertentu. Tukirin, Suprapto dan lain-lainya adalah para petani kecil yang mestinya dibina pemerintah sebagaimana diamanatkan UU tersebut.

Hal lainya tentang kewenangan mengadili kasus Hak Paten adalah Pengadilan Niaga, seperti diatur Pasal 118 UU Paten. Semestinya Pengadilan Negeri Kediri tidak menerima pemeriksaan pelanggaran hak paten sebab di luar kompetensi absolutnya. Sebagaimana kasus yang menimpa Djumadi selaku penjual bibit jagung yang diduga hasil pelanggaran hak paten hanya bisa dihukum jika pelanggaran hak paten terbukti. Dalam kasus tersebut, hakim justru menghukum Djumadi lebih berat dari pada Tukirin dkk sebagai pelaku yang dianggap menjiplak pembudidayaan bibit jagung.

Pada perkembangan kasus jagung lainya, yang menarik terlihat jelas pada kasus Burhana, petani jagung dari Kediri yang didakwa melanggar UU Perlindungan Konsumen setelah tidak terbukti bersalah pada tuduhan UU Sistem Budidaya Tanaman. Dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut, Burhana bersalah karena tidak memasang label.

Bukankah ketentuan tersebut telah diatur pula dalam UU Sistem Budidaya Tanaman, maka yang menjadi pertanyaan adalah ketika Burhana tidak terbukti bersalah menurut UU Sistem Budidaya Tanaman, ia justru dipersalahkan pada aturan UU lain dengan tema tuduhan yang sama. Dalam hal ini, penetapan hukum bidang pertanian lemah, baik dalam struktur, manajemen, kultur, maupun substansi. Secara substansi kelemahan hukum mencakup dari segi konsistensi, ketegasan dan kejelasan.

Celah Dalam Perundangan
Perlunya pembenahan dalam peraturan perundang-undangan pertanian terkait perbenihan. Karena secara empirik, UU pertanian sulit untuk diterapkan terutama pengertian yang rancu akan isi pasal-pasal yang tertulis di dalamnya. Celah pertama dapat dilihat pada UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 tahun 1992, pasal 6 ayat 1 dan 2 yang tumpang tindih antara kebebasan petani namun juga berkewajiban.

Pada ayat 1, menyebutkan akan kebebasan petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun pada ayat 2, petani juga berkewajiban untuk berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam pasal 57. Lebih lanjut pasal 6 harus di crosscheckkan dengan pasal 57. Ternyata pasal 57 pun memiliki pengertian yang berbeda dengan pasal 6. “Antara pasal 57 dan pasal 6 itu terlepas, sehingga penyuluh dari PKP (Program Komunikasi Pertanian), menjadi serba ragu-ragu. Hal ini menjadi multi tafsir. Harus disempurnakan hubungan antara pasal 57 dengan pasal 6 sehingga petugas dari PKP tidak sia-sia.

Pada pasal 6 ayat 3, disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu dan ketentuan selanjutnya diatur dalam PP. Hingga kini, belum ada PP yang mengatur ketentuan tersebut.

Celah kedua dapat dilacak dalam pasal 9, yakni tidak sistematisnya ayat 1 dan 2. Pengertian antara kedua ayat tersebut berbeda, ayat 1 menjelaskan tentang penemuan varietas unggul dilanjutkan pada ayat 2 tentang pencarian dan pengumpulan plasma nutfah. Hal yang sama juga ditemukan pada pasal 11. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang orang atau badan hukum yang dimaksud. Sehingga dapat menimbulkan multi tafsir dan penyusupan kepentingan pihak tertentu.

Dimana petani, pemulia tanaman, perusahaan benih (pelaku usaha) harus dijelaskan dengan rinci karena perannya di lapang berbeda. Terkait dengan kasus perbenihan, maka berdasarkan isi dari pasal ini, petani pun memiliki hak untuk menciptakan varietas unggul.

Kemudian terkait pasal 14 ayat 1, tertulis bahwa sertifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin. Dalam hal ini dipertanyakan perihal izin yang dimaksud, karena kebiasaan petani sangat berbeda dengan kegiatan pemulia tanaman pada umumnya. Kebiasaan petani, selain menjual hasil panennya juga menyimpan sebagian untuk pembenihan berikutnya.

Terkait dengan kasus hukum yang terjadi, pada pasal 15 dijelaskan pengawasan pemerintah terhadap pengadaan dan peredaran benih bina. Jika melihat peran Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), terjadi kerancuan di bidang struktural. Untuk menangani penyimpangan dalam bidang perbenihan, terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tubuh BPSB berkordinasi langsung dibawah POLRI. Terjadi overlapping peran, bagaimana ia sebagai penyidik bila juga bertugas dibagian pembinaan ataupun pengawasan. Padahal jika sebagai pembina berarti ia berperan sebagai penyuluh yang mengarahkan petani agar mendapatkan ijin.
( Catatan : Ada berapa orang PPNS yang mengerti tentang aspek hukum ?, sementara POLRI tidak mengerti tentang teori dan metodologi perbenihan ? )

Pada pasal 48, yang melakukan usaha budidaya tanaman tertentu di atas skala tertentu wajib memiliki izin. Tidak ada pengertian yang jelas mengenai skala disini. Skala tertentu yang dimaksud meliputi luasan lahan, manajemen, jenis tanaman, jumlah tanaman, jumlah investasi, tingkat tekhnologi, dan lain-lain yang digunakan dalam budidaya tanaman. Jadi pengertian tersebut mengarah pada pemilik modal. Jika berdasarkan pengertian tersebut, maka menjadi tidak mungkin bagi petani kecil untuk memenuhinya.

Terakhir pada UU Sistem Budidaya Tanaman, tampak pada pernyataan ‘barangsiapa’ yang disebutkan pasal 61 ayat 1. Kata ‘barangsiapa’ dalam hal ini bisa menunjuk pada siapa saja, baik perorangan maupun badan hukum sehingga dapat menjadi rancu. Selain dalam UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, celah ditemukan juga pada PP No.44 tahun 1995 khususnya pada pasal 20. Pasal ini menyebutkan tentang pengecualian kewajiban uji adaptasi dan penilaian terhadap varietas yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan selera konsumen.

Pentingnya Mekanisme Perlindungan Terhadap Petani Kecil

Kasus Tukirin dkk, merupakan salah satu dari kasus-kasus serupa yang dialami oleh petani Indonesia. Petani sudah kehilangan hak atas kesempatan dan peran atas pengembangan budidaya tanaman, sebagaimana tertulis dalam UU No.12 tahun 1992. Seharusnya pemerintah lebih berperan dalam pengembangan kemampuan petani. Petani yang kreatif seharusnya diberikan jaminan dan perlindungan akan hak-haknya. Salah satu hak petani adalah pengembangan pemuliaan tanaman pangan untuk mendapatkan benih idaman sesuai selera petani tanpa melanggar UU. Melarang atau menakut-nakuti bukan solusi utama dalam upaya kriminalisasi terhadap petani. Kertas Posisi yang disampaikan dalam audiensi dengan pihak Sekjen DPR di Jakarta, Malang dan Surabaya tahun 2010 (API/Dhiens)

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 24 Januari 2011 9 komentar






Tidak terasa usia Serikat Petani Lumajang(SPL) memasuki tahun yang ke-3, SPL mengadakan refleksi setahun dan evaluasi tentang kerja-kerja organisasi, agenda kegiatan ini dihadiri oleh pengurus harian SPL dan seluruh pengurus Organisasi Tani Lokal (OTL), yang tersebar di 12 kecamatan yang ada di kabupaten Lumajang, serta dihadiri oleh pengurus Sekretariat Daerah Aliansi Petani Indonesia (API) Jatim yaitu Sofyan Ubaidi Anom dan Ubaidillah Al-basith. Dalam proses diskusi refleksi dan evaluasi SPL mentabulasi berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh SPL, baik diwilayah internal maupun eksternal dalam kerangka proses perjuangan memperoleh hak atas tanah, dan merupakan mayoritas basis kultur anggota.

Meskipun usia organisasi SPL sudah 3 tahun, namun masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan baik di lemahnya pembagian wilayah job description pengurus maupun proses penyelsaian kasus sengketa tanah yang merupakan mayoritas basis anggota SPL, seperti yang diungkapakn oleh Bapak Supangkat selaku Sekretaris Jenderal SPL bahwa meskipun kita sudah berusia 3 tahun semenjak dideklarasaikan pada bulan Juni tahun 2008, perlu kita refleksikan tentang apa yang sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan dalam program-program kerja SPL, misalnya perlunya peningkatan kapasitas pengurus dan penguatan kapasitas Organisasi Tani Lokal (OTL) yang menjadi anggota SPL, hal yang sama juga diungkapkan oleh Bapak Junaedi ketua Dewan Tani SPL yang sekaligus menjabat sebagai kepala desa Pasrujambe kecamatan Pasrujambe, bahwa selain itu perlu ditingkatkannya tertib administrasi organisasi secara menyeluruh, dan untuk menunjang kinerjanya sekaligus menjadi media konsolidasi serta kordinasi antar OTL maka perlu direalisasikannya wahana semacam sekretariat, yang sekaligus dapat berfungsi sebagai sarana untuk media promosi dari hasil produk-produk pertanian anggota SPL. Tidak terlupakan transformasi informasi terkait dengan dokumentasi yang dibutuhkan oleh anggota dalam kerangka mencukupi kebutuhan pengetahuan untuk meningkatkan kapasitas anggota, juga termasuk menjadi prioritas agenda organisasi SPL selanjutnya.

Selain itu program kerja yang masih berjalan adalah pemetaan partisipatif, yang diawali di OTL Petani Reformasi Pasrujambe (PREPAS) yang berada di desa Pasrujambe kecamatan Pasrujambe dan sekarang pada tahap finishing, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan partisipatif di OTL-OTL yang lainnya gunanya untuk mengetahui jumlah luasan lahan yang telah dikelola oleh petani, selain itu pula kedepan SPL tidak hanya konsentrasi pada upaya penyelesaian konflik lahan yang disengketakan oleh pihak Perhutani KPH Probolinggo, akan tetapi bagaimana petani anggota SPL dapat memanfaatkan lahan yang ada untuk bertata produksi pertanian sesuai dengan secara geografis terletak didaerah pegunungan, sebagaimana hutan memilik fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya, dengan merencanakan konsep atas inisiatif masyarakat petani dalam kerangka pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan.


Kontributor:Ubed Anom

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Selasa, 11 Januari 2011 2 komentar





Aliansi Petani Indonesia, Kediri 23 Desember 2010- Di penghujung pada tahun ini, di salah satu tempat di bilangan Provinsi Kota Kediri Jawa-Timur, terjadi suatu Pristiwa yang di nanti-nantikan oleh warga Kediri, yaitu Deklarasi Serikat Petani Kediri yang di singkat SEPAK. Deklarasi ini berjalan sangat lancar dengan Pembukaan acara panggung seni budaya khas Kediri, serta terlihat tamu undangan berdatangan seperti Anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari. Prof Sumarji(pemerhati pertanian), serta Supartono anggota DPD, dan Pembukaan Acara dari Panitia API Jatim, dan pembacaan Naskah Deklarasi SEPAK (Serikat Petani Kediri), diwakili oleh masing-masing Petani dari-6 Kecamatan yang tergabung dalam SEPAK.

Terlihat dari beberapa para tamu undangan Deklarasi Serikat Petani Kediri, yang juga di hadiri oleh para Wali Santri, kebetulan para orangtua Santri di ponpres ini adalah para Petani yang bergantung hidupnya dari pengelolaan lahan, mereka tergugah atas undangan Deklarasi Serikat Petani Kediri, maka itu mereka tak segan-segan untuk terlibat yang menyangkut kehidupan masyarakat Kediri dan sekitarnya, dan ada yang menarik, tepatnya di sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kota Madya Kediri Jawa Timur (Pondok Pesantren Lirboyo) di daerah inilah telah berdirinya hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, tempat inilah di salah satu Aula di pakai untuk Deklarasi SEPAK.

Seiring waktu terus berjalan, Pembukaan dilakukan oleh ibu Eva Kusuma Sundari:
“Sebelum membuka acara ini saya akan laporkan kepada para ibu dan bapak, bahwa menjadi petani bukan hal yang mudah di negara ini, karena kebijakan Negara tidak berpihak kepada Petani, karena produk hukum tidak ada yang berpihak kepada Petani, malah menyengsarakan Petani, karena menurut penelitian teman2 ada 23 UU yang tidak berpihak kepada Petani, DPR ikut berdosa, karena ikut membuat Undang-undang yang menyengsarakan Petani”. Tepuk tangan dan suara bergemuruh mengisi ruangan dengan sorak peserta Deklarasi, demikian Petikan” dari pembukaan.

Dan di tengah-tengah acara yang berjalan, terjadi Forum Diskusi mengenai Hak asasi petani-Revorma agararia, serta UU SBT dan PVT, dan pendapat Prof Sumarji tentang UU SBT dan PVT: “Berbicara Nasib Petani dari dulu nasib Petani tidak berubah, salah satunya dari Undang-undang yang mengkerdilkan Petani adalah UU SBT sebelum ada Undang-undang itu Petani masih memiliki Kedaulatan, setelah Undang-undang itu muncul maka Kedaulatan dan Kreatifitas Petani di hilangkan, ada daerah yakni Indramayu ada Petani yang kreatif namanya pak warsiang dan ternyata Pemerintah dan Perguruan tinggi mendukung, Sebenarnya UU SBT dan PVT harus dirubah karena Undang-undang ini adalah pesanan dari asing”. demikian petika dari Prof Sumarji tentang UU SBT.

Setelah itu ada Testimoni dari Pa Kuncoro “Saya mewakili Petani Kediri, saya menjalani menjadi Petani gurem, pernah membudidayakan benih jagung, tetapi diakui dan dikuasai perusahaan , Petani tidah boleh menguasai benihnya sendiri, karena dilarang oleh perusahaan, Undang-undang di kediri mengatakan, semua benih sudah diakui perusahaan, kemangi, kangkung, kenikir, bayem telah diakui oleh perusahaan, padahal yang nemanya benih, diatas sudah ada sejak jaman dulu, saya sebagai petani pernah di Kriminalissasi dan di Penjara, seakan akan saya mati, tapi masih hidup, saya merasa takut menjadi Petani, dan beruntung saya di supot oleh teman-teman API untuk berjuang”

Demikian Testimoni dan beberapa acara berjalan dengan lancar dan sangat baik,

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Minggu, 26 Desember 2010 5 komentar




Aliansi Petani indonesia(API): Jakarta 14 – 17 Desember 2010 Gedung TRISULA PERWARI
Jln. Menteng Raya No 35. Jakarta Pusat

Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional semakin penting dan strategis. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik sumbangan langsung dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Walaupun sektor ini penting, tetapi nasib para petani sebagai aktor penting masih memprihatinkan.

Pada sisi lain, konflik pertanahan masih belum terselesaikan, bahkan cenderung meningkat. Menurut catatan BPN, data sengketa agraria tahun 2006 berjumlah 1423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2810 kasus. Setelah diverifikasi kembali data tahun 2007: jumlah sengketa menjadi 4581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2052 kasus sehingga total kasus menjadi 7491 kasus.


Rapat Pimpinan Nasional Dewan Tani Aliansi Petani Indonesia sebagai forum yang strategis dikarenakan pertemuan tersebut merupakan pertemuan para pemimpin petani dari berbagai serikat petani di 37 Kabupaten, untuk merumuskan agenda perjuangan petani terhadap Kebijakan Pertanian Khususnya terkait kebijakan perberasan dan pertanahan di Indonesia.


Setelah peserta Rapat Pimpinan Nasional API mengikuti Dinamika Rapat, namun di sela-sela acara di sempatkan untuk berkunjung di beberapa titik pasar-pasar di DKI Jakarta, memperkuatkan konsep pasar yang pro terhadap petani maka dilakukannya untuk berkunjung di lumbung pangan bagi warga DKI Jakarta dan sekitanya dibilangan Pasar Induk Cipinang, Peserta Rapimnas API melakukan Audensi dengan pihak Pimpinan Manager Pertokoan PT Food Tjipinang Jaya, setelah beberapa menit forum berjalan Peserta di ajak untuk melakukan studinya langsung kelapangan, dan para dewan tani dari peserta Rapimnas melihat beberapa sisi semisalkan dari harga untuk beras jenis Cianjur Kepala, Rp. 5.800 per-kilo, sedangkan yang paling rendah adalah beras jenis Muncul III dan IR-64 III yang per kilo dijual Rp 3.900. dan alat produksi maka terjadilah diskusi di lapangan.

Bukan itu saja setelah berkunjung dari Pasar Cipinang sekarang peserta menuju Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, sentra penjualan sayur dan buah-buahan untuk warga Jakarta. Pasar Induk Kramat Jati dibangun diatas lahan seluas 14,7 hektar dengan luas bangunan 83.605 meter persegi. Pasar ini terbagi dalam 10 blok, dengan 4428 tempat usaha. Disini terdapat 1800 lebih pedagang dari berbagai daerah, yang mengadu nasib dan berjualan berbagai jenis buah dan sayuran. Pasar induk ini dibangun sejak tahun 1971 era Gubernur DKI Ali Sadikin dan mulai direnovasi tahun 2004, Sesampainya Peserta Rapimnas API tiba di tempat langsung melakukan Audensi dengan pengurus pasar, Terjadilah beberapa Dialog tentang Harga dan Pasar dan saling berbagi pengalaman, Dengan diskusi yang mengalir, setelah itu peserta Rapimnas API di ajak untuk berkeliling pasar.

SASARAN
1. Tercapainya ukuran penilaian bersama tentang Kebijakan Pertanian yang berdampak terhadap tingkat kesejahteraan petani antara pemerintah dan petani khususnya Isu Pangan dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
2. Terumuskan dan terdokumentasi rumusan masalah dan agenda petani terkait kebijakan pertanian yang akan disampaikan kepada pemerintah.
3. Ditetapkannya Agenda Petani 2011 dalam bentuk Program dan Kegiatan Organisasi API

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Kamis, 23 Desember 2010 2 komentar





(Respon atas tewasnya petani di Jambi dalam konflik agraria antara Warga dengan PT. WKS di Desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi)

MENHUT DAN DIREKTUR PT. SINARMAS GROUP BERTANGGUNG JAWAB ATAS SENGKETA PERTANAHAN DAN TINDAKAN KEKERASAN YANG TERJADI DI PROVINSI JAMBI

KPA – API – SPI – IHCS - KONTRAS

Hari ini, Senin tanggal 08 November 2010, petani kembali menjadi korban dalam konflik agraria dengan PT Wira Karya Sakti (WKS) – anak perusahaan Sinar Mas Group. Dua orang petani Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi ditembak pada saat melakukan aksi untuk merebut kembali hak atas tanahnya seluas 7.224 ha yang telah dirampas oleh PT. WKS. Seorang petani yang bernama Ahmad (45 tahun) tewas di tempat dengan luka tembak di bagian kepala, sementara satu orang lainnya mengalami luka tembak di bagian paha.
Peristiwa penembakan ini dipicu oleh tindakan PT. WKS yang membawa aparat keamanan (Brimob dan security perusahaan) dan berusaha membubarkan secara paksa aksi massa para petani yang pada saat kejadian menggunakan kapal pompong (kapal gethek). Pada jam 13.30 (waktu setempat) aparat kepolisian menembak para petani dengan membabi buta dari atas Kapal yang mereka naiki, tanpa diawali tembakan peringatan terlebih dahulu.
Aksi ribuan petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ), yang dilakukan dengan cara melarang Kapal Perusahaan PT. WKS untuk melintasi Sungai Pengabuan ini disebabkan hingga saat ini tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Petani menuntut perusahaan untuk mengembalikan tanah yang telah direbut oleh PT. WKS, namun pihak perusahaan tidak pernah merespon tuntutan petani. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dengan ini kami menyatakan sikap:
1. Mengutuk keras tindakan brutal dan represiv aparat kepolisian (Brimob Polda Jambi) atas penembakan yang menewaskan Anggota PPJ;
2. Menuntut ditegakkannya hukum dengan menindak pelaku penembakan terhadap Anggota PPJ;
3. Segera cabut izin PT. WKS dari Provinsi Jambi;
4. Menuntut kepada Metri Kehutanan RI untuk segera mengembalikan tanah petani yang telah dirampas PT. WKS; dan
5. Segera hentikan segala bentuk kekerasan terhadap petani.
Demikian surat terbuka ini disampaikan kepada semua pihak yang terkait untuk menjadi perhatian bersama. Terima kasih.

*Terlampir kronologis kasus.

Hormat kami,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS)

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 08 November 2010 5 komentar







“HENTIKAN PEMBAHASAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN BAGI KEPENTINGAN UMUM”

RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum adalah salah satu kebijakan prioritas yang didorong pemerintahan SBY untuk segera disahkan DPR dalam tahun ini. RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan pelibatan peran swasta. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Untuk mencapai target investasi di bidang infrastruktur ini, pemerintah mengeluarkan sejumlah regulasi diantaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Peraturan tersebut merefleksikan keberpihakan pemerintah terhadap investor demi memberikan kepastian hukum dari sebuah proyek infrastruktur yang ditawarkan. Beberapa aturan tentang proses pengadaan tanah misalnya, membolehkan pemerintah mencabut hak atas tanah warga negara untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.

Kehadiran RUU ini adalah hasil koalisi pemerintah, pengusahan dan partai politik. Sekretariat Gabungan (Setgab) secara terang-terangan mengatakan dukungan terhadap RUU Pengadaan tanah ini tanpa terlebih dahulu melihat urgensi dan apa dampaknya bagi rakyat. RUU Pengadaan tanah ini juga menunjukkan wajah paradoksal dari pemerintahan SBY-Boediono. Di satu sisi mendorong kebijakan penataan tanah terlantar, tetapi sisi lain juga mendorong kebijakan yang melegitimasi penggusuran tanah rakyat.

Dari segi proses, RUU ini patut dipersoalkan, karena pembahasannya yang tidak partisipatif dan demokratis. Rakyat akan menjadi target dari kebijakan ini tidak pernah dimintasi pendapat. Proses konsultasi yang diintrodursir RUU ini bersifat sangat formalitas, karena konsultasi tidak diarahkan untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat mengenai apakah mereka setuju atau tidak setuju.

RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ini, menyisakan banyak masalah. Diantaranya adalah : Pertama, dengan lahirnya UU semacam ini, penggusuran yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Tentu saja potensi pelanggaran HAM di dalamnya sangat besar. Mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat hanya sedikit saja yang telah dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Bahkan, dengan RUU ini yang sudah memiliki dokumen saja terancam bahaya apalagi yang tidak berdokumen.

Kedua, RUU ini akan mempertajam konflik atas tanah, termasuk konflik-konflik yang terjadi di tanah-tanah adat yang diakibatkan oleh minimnya pengakuan Negara terhadap hak masyarakat adat atas tanah. Dalam situasi demikian, Pemerintah seharusnya terlebih dahulu membuat sebuah regulasi yang memperjelas status hak masyarakat adat atas tanah yang bersifat komunal (tanah ulayat) bukan regulasi semacam RUU ini.

Ketiga, Cepatnya pembahasan RUU ini menandakan bahwa pemerintah kita begitu ramah dan mudah disetir oleh pengusaha. Bayangkan, menurut data BPN ada 7.2 juta hektar lahan yang diterlantarkan oleh pengusaha. Tapi, para pengusaha masih mengeluh untuk mendapatkan tanah.

Keempat, dalam RUU ini tata cara ganti rugi yang kelak akan dipakai terlalu menguntungkan pengusaha. Sehingga posisi rakyat semakin lemah ketika tanah-tanahnya ditetapkan menjadi kawasan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kelima, RUU ini berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah kepentingan umum, padahal proyek tersebut adalah infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai dan dimiliki dan dikelola oleh swasta, bahkan asing. Proyek tersebut seperti jalan tol, bendungan, pasar modern, pelabuhan, bandara adalah proyek-proyek yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Proyek-proyek tersebut bahkan akan mengancam tanah-tanah persawahan di Jawa, jaringan irigasi yang akhirnya akan mengancam ketahanan pangan.
Dan keenam, RUU ini ternyata sarat dengan pesanan asing, ditemukan dokumen-dokumen yang menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) adalah tiga lembaga kreditor yang memainkan peran kunci dalam mengarahkan kebijakan pembangunan infratruktur yang bercorak pasar di Indonesia. Ketiga lembaga tersebut sejak lama terlibat dalam penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi di bidang energi, jalan, komunikasi, bandar udara, air, dan pelabuhan. Lewat skema utang untuk ”Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur,” pihak kreditor mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi.
Berdasarkan atas masalah di atas, maka kami yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Penggusuran menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Menolak RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan proses pembahasannya. Mempercepat pembahasan RUU ini sama artinya melegalkan proses perampasan atas tanah-tanah rakyat secara legal.
2. Mendesak kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera melakukan kaji ukang dan review terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan sumber-sumber agraria sebagaimana yang telah dimandatkan oleh TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
3. Mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan perombakan atas pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam melalui program reforma agraria sesuai dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentag Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Demikianlah pernyataan sikap kami buat untuk mendapat perhatian. Atas kerjasama dan partisipasinya diucapkan banyak terima kasih.


Jakarta, 19 Oktober 2010

Koalisi Rakyat Anti Penggusuran
(Konsorsium Pembaruan Agraria, Bina Desa, WALHI, KIARA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Pergerakan Bandung, SAINS Institute, Aliansi Petani Indonesia, Serikat Petani Indonesia, JKPP, KpSHK, Koalisi Anti Utang, HuMA, IHCS, UPC, Solidaritas Perempuan, JATAM)


Kontak Person :
Idham Arsyad, Sekjen KPA : 081342619987
Ade Muttaqin, Bina Desa : 0818761223

Sekretariat :
Jl.Duren Tiga No.64, Pancoran, Jakarta Selatan, 12760
Telp/Fax : (021) 79191703/79190264

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Rabu, 20 Oktober 2010 1 komentar

Subscribe here

Lagu-lagu Perjuangan Petani Organik API

Dokumentasi