Tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Panduan Aksi Hukum
Desember 2009
Writing Panel
Gunawan
Janses E Sihaloho
Benidikty Sinaga
Riando Tambunan
Ridwan Darmawan
www.ihcs.or.id
www.api.or.id
Pengantar
Perjanjian Hak atas kekayaan Intelektual (HKI) yang Terkait dengan Perdagangan atau dikenal dengan TRIPs (The Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) adalah hasil dari perundingan yang tidak sepenuhnya dimengerti oleh negara-negara berkembang pada saat Putaran Uruguay. Ide untuk mengintegrasikan perlindungan HKI di dalam organisasi perdagangan dunia dipromosikan oleh negara-negara maju atas permintaan dari kelompok-kelompok industri besar dengan tujuan untuk menetapkan aturan standar dan berlaku di semua negara untuk melindungi kepentingannya. Negara-negara berkembang tidak berhasil menghentikan diterapkannya TRIPs, namun di tingkat nasional, pemerintah memiliki sedikit otonomi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban perjanjian.
Salah satu isu yang penting dalam TRIPs adalah perlindungan varietas tanaman dalam pasal 27.3b. Disebutkan, negara harus melindungi varietas tanaman dengan paten atau sistem sui generis atau kombinasi keduanya. Namun pasal tersebut tidak memberikan definisi yang jelas Sehingga perundangan nasional, memiliki celah untuk menentukan apa yang disebut sebagai ‘varietas tanaman’ dan sistem ‘sui generis’ untuk tujuan perlindungan
Indonesia juga telah menyusun Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2004. Namun demikian masih banyak pertanyaan tak terjawab seperti, apakah UU PVT menyediakan kesempatan bagi petani dan masyarakat lokal untuk mendapatkan hak atas ‘varietas dan pengetahuan tradisional” yang telah dikembangkan seperti ‘hak pemulia tanaman’ yang diakomodasi dalam UU PVT. Lebih penting lagi, adalah bagaimana implikasi pada kedaulatan pangan?.
Panduan ini didedikasikan kepada (1). Diseminasi informasi mengenai undang-undang perlindungan varietas tanaman kepada petani dan kaitannya dengan pertanian dan kedaulatan pangan; (2). Memberikan pemahaman mengenai hak-hak petani dan hak-hak pemulia; (3). Berbagi pengalaman mengenai pengembangan varietas tanaman oleh petani.
Adapun materi tulisan meliputi (1). Konsep dasar dari perlindungan varietas tanaman dan UU No 29/2000 tentang PVT; (2). Keterkaitan antara hak-hak pemulia dan hak-hak petani; (3). Pelajaran dari lapangan – pengalaman petani untuk mengembangkan varietas tanaman; (4). Implikasi UU PVT pada kedaulatan pangan.
Sedangkan hasil yang diharapkan dari pendistribusian tulisan ini adalah: (1). Pembaca akan memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai Undang-Undang Perlindungan Varietas tanaman; (2). Pembaca memiliki pengetahuan mengenai hak-hak petani; (3). Adanya pertukaran pengalaman di antara petani dan pekerja hukum dalam melindungi, menyimpan, mengembangkan dan mempertukarkan benih.
Bab I
Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman
1. Peraturan-Perundangan Terkait
A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for food and Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).
Tujuan Perjanjian ini ialah konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian dan pembagian keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatannya secara adil dan merata, untuk pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan, selaras dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati”
Ketentuan ini juga mengatur mengenai hak petani untuk mendapat perlindungan akan pengetahuan tradisional, pembagian atas hasil dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.
B. Undang-Undang Nomor12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
Menyimak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyatakan, ”Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang, guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.”
Lebih lanjut Pasal 3 mengatakan, Sistem Budidaya Tanaman bertujuan : a. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (2) diterangkan: Sertifikasi merupakan kegiatan untuk mempertahankan mutu benih dan kemurnian varietas, yang dilaksanakan dengan: a. Pemeriksaan terhadap kebenaran benih sumber atau pohon induk, petanaman dan pertanaman, isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar, alat panen dan pengolahan benih, tercampurnya benih; b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetik, fisiologis dan fisik; c. Pengawasan pemasangan label. Lebih lanjut di Ayat (3) yang dimaksud dengan label adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji laboratorium, serta akhir masa edar benih.
Undang-Undang ini sebenarnya mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman.. sehingga penerapan undang-undang ini berpotensi menjadi penghalang bagi akses masyarakat khususnya petani dalam pemenuhan terhadap hak atas pangan. Padahal Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa Pemerintah perlu memberikan peluang dan kemudahan tertentu yang dapat mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman.
C. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
Dalam Pasal 1 Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan data kegiatan perdagangan barang atau jasa;
2. Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya;
3. Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa- jasa sejenis lainnya;
4. Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersamasama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya;
5. Lisensi adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek menjadikan bibit-bibit tanaman pertanian menjadi monopoli perusahaan besar dengan ancaman pidana dan denda bagi petani. Undang-undang ini juga merupakan bentuk kapitalisasi bagi investor dengan memberikan merek untuk bibit, alat-alat pertanian dan lain-lain.
D. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
Dalam Pasal 1 Undang-undang ini yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Investor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”.
Undang-Undang Paten ini menjadikan bibit-bibit tanaman pertanian menjadi monopoli perusahaan besar dengan ancaman pidana dan denda bagi petani.
E. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Undang-undang ini merupakan bentuk kapitalisasi bagi investor dengan mempatenkan produk-produk pertanian terutama masalah bibit-bibit pertanian. Undang-undang ini merupakan bentuk kapitalisasi bagi investor dengan menjadikan cara pengolahan pertanian menjadi hak eksklusif investor yang tidak boleh di pakai petani tanpa izin.
2. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang PVT
Dalam Pasal 1 Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman;
2. Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu;
3. Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan;
4. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.
5. Pemulia tanaman yang selanjutnya disebut pemulia, adalah orang yang melaksanakan pemuliaan tanaman.
Undang-undang ini sangat membahayakan petani karena mengekang kreativitas petani untuk menemukan atau proses pemulian varietas tanaman, sehingga dapat juga mengakibatkan terhalanginya akses orang atau individu/kelompok petani terhadap pemenuhan hak atas pangan.
Dalam konsideran menimbang, terlihat adanya dua alasan mengapa Pemerintah Indonesia harus meratifikasi regulasi di bidang perlindungan varietas tanaman yaitu: Pertama. Pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman adalah untuk menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan investasi di bidang perbenihan yang unggul, sebagaimana yang disebut dalam Menimbang butir (d): “bahwa guna lebih meningkatkan minat dan peranserta perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman perlu diberikan hak tertentu serta perlindungan hukum atas hak tersebut secara memadai.”
Alasan kedua. Menimbang butir (e) menyatakan, “bahwa sesuai dengan konvensi internasional, perlindungan varietas tanaman perlu diatur dengan undang-undang.” Bahwa dalam konsideran (menimbang) tersebut menunjukkan bahwa regulasi di bidang perlindungan varietas tanaman merupakan sebuah konsekuensi logis dalam Indonesia dalam keterlibatannya di forum internasional.
Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang dilandasi dua kepentingan yang tersebut di atas yaitu sebagai sarana untuk merangsang kegiatan pemuliaan tanaman dan harmonisasi hukum internasional di bidang hak kekayaan intelektual, sehingga sangatlah sulit diharapkan dalam batang tubuh undang-undang Perlindungan Varietas Perlindungan Tanaman akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani.
Selanjutnya juga dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman sedikit sekali tidak menyebutkan sama sekali mengenai hak-hak petani sebagaimana didefinisikan dalam Annex II Resolution 5/89 about Farmer Rights,, yaitu, hak yang muncul dari kontribusi petani pada masa yang lampau, sekarang, dan yang akan datang dalam konservasi, peningkatan, dan menjadikan tersedianya sumber daya genetik yang berada pada pusat berasalnya keanekaragaman tanaman.
HAK PETANI
• Resolusi FAO No. 5/1989 jo. No. 3/1991 Tentang Sumberdaya Genetika Tanaman.
Farmer’s Right: rights arising from the past, present and future contribution of farmers in conserving, improving, and making available plant genetic resources, particularly those in centres of origin/diversity …..”(“Hak-hak yang timbul dari kontribusi petani pada masa lalu, kini dan depan dalam melestarikan, meningkatkan, dan menyediakan sumber hayati tanaman, khususnya di pusat-pusat asal/keanekaragaman (sumber daya hayati)”)
HAK ISTIMEWA PETANI
• Farmers’ exemption/Farmers’ privilege: “pembatasan dalam lingkup perlindungan untuk mengkomersialkan perbanyakan bahan suatu varietas baru dengan mengizinkan petani untuk menyimpan sebagian benih dari hasil panen untuk ditanam pada masa tanam berikutnya di lahan yang sama (tanpa harus membayar royalti kembali kpd pemegang hak PVT)”
• Lihat Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT: “Tidak dianggap sebagai pelanggaran hak PVT, apabila penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.”
• Penjelasan Pasal 10 (1) huruf a: “Yang dimaksud dengan tidak untuk tujuan komersial adalah kegiatan perorangan terutama para petani kecil untuk keperluan sendiri dan tidak termasuk kegiatan menyebarluaskan untuk keperluan kelompoknya.”
• Penjelasan Umum UU PVT (kalimat terakhir Paragraf 5): “Perlindungan tersebut juga tidak dimaksudkan untuk menutup peluang bagi petani kecil memanfaatkan varietas baru untuk keperluannya sendiri, serta dengan tetap melindungi varietas lokal bagi kepentingan masyarakat luas.”
• Penjelasan Umum, Paragraf 18 Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman: “Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta memperluas pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, Pemerintah mengambil langkah-langkah yang mendorong tumbuhnya kerjasama yang saling menguntungkan antara usaha berskala kecil dengan yang berskala besar. Dengan demikian, akan terbuka peluang bagi masyarakat petani dan usaha berskala kecil untuk turut serta dalam pemilikan dan pengelolaan budidaya tanaman berskala besar.”
PETANI BEBAS PILIH BENIH
• Pasal 6 UU SBT: (1) Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya; (2) Dlm menerapkan kebebasan itu, petani wajib berperanserta dlm mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman sbgmn dimaksud Ps.5.
PELUANG TANAM PAKSA
• (3) Apabila kebebasan memilih tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu.
• (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
PETANI, RIWAYATMU KINI
• Ditinggi-tinggikan dalam harapan mulia pembuat Undang-Undang.
• Dibatas-batasi dalam ketentuan Undang-undang.u
• Dicurang-curangi oleh perusahaan besar.
• Bisa-bisa disuruh tanam paksa oleh Pemerintah.
Sumber : Gunawan Suryomurcito, S.H. (Konsultan PVT No. 17/K.PVT/2006), PETANI,
RIWAYATMU KINI, Penyebutan Petani dan Kepentingan Petani dalam Berbagai Sumber Hukum
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT yang menyebutkan Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.”
Dalam pasal tersebut terdapat Kalimat “dan/atau” pada pasal tersebut sebenarnya memberikan hak khusus terhadap Perlindungan varietas tanaman kepada petani secara otomatis, meskipun para petani tidak mengajukan hak PVT kepada kantor PVT. Karena kalimat “dan/ atau” bisa bermakna salah satu, yaitu yang tidak mengajukan hak PVT maupun yang mengajukan hak PVT. Bagi yang tidak mendaftarkan hak PVTnya pun tidak menjadi masalah. Karena dalam Undang-Undang PVT sendiri tidak disebutkan bahwa setiap varietas baru harus didaftarkan. Sebenarnya diberikannya perlindungan PVT oleh pemerintah adalah untuk pihak yang menginginkan varietasnya tidak diikuti oleh orang lain demi keperluan perhitungan ekonomi. Akan tetapi dalam kenyataannya UU ini telah memakan banyak korban, tercatat salah satunya adalah pak Tukirin, seorang petani pemulia tanaman Jagung di Kediri Jawa Timur yang dituduh telah melakukan sertifikasi liar, mencuri benih dan meniru cara bercocok tanam.
Adalah Pasal 6 ayat (3) huruf h yang menyatakan bahwa, “Hak untuk menggunakan varietas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf h meliputi kegiatan: h. mencadangkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam butir a, b, c, d, e, f, dan g.”
Bahwa dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf h yang mana hak untuk mencadangkan untuk menjual atau memperdagangkan, dan manawarkan yang merupakan hak Pemulia Tanaman dengan kata lain pihak selain Pemulia Tanaman yang tanpa seijin Pemulia Tanaman, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (3) Huruf H, tidak diperkenankan untuk mencadangkan untuk keperluan-keperluan yang terdapat dalam butir a-g Pasal 6 ayat (3) bertentangan dengan praktik-praktik tradisonal petani yang cenderung bercorak kegotong-royongan.
Pembatasan hak petani dalam pemulian benih jelas tidak sesuai dengan Pasal 28 C (1), dimana, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Dan pengingkaran terhadap kegotong-royongan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip antara lain kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Memang dalam Pasal 10 secara eksplisit telah memberikan sebuah bentuk perlindungan terhadap petani kecil yang pada dasrnya mengatur mengenai hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak PVT, namun dalam pasal-pasal yang lain tidak mengatur mengenai apa yang disebut sebagai “petani kecil” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 10 tersebut.
Hak-hak petani yang tidak diakomodir, padahal di satu sisi petani adalah pihak yang paling terkena dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman tersebut. Dengan demikian para drafter (para pembentuk undang-undang) tidak memperhatikan prinsip-prinsip pembuatan undang-undang yang baik yang paling harus memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat yang akan terkena dampak pemberlakuan Undang-Undang. Perlindungan Varietas Tanaman tersebut.
Padahal di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Artinya konstitusi telah mengamanatkan untuk memberikan perlakuan yang sama di depan hukum. Dalam Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman hanya memberikan hak-hak kepada Pemulia Tanaman yang diberlakukan terhadap petani, dimana para petani tidak diberikan hak-hak sama sekali dalam undang-undang tersebut.
Bab II
Pelajaran dari Lapangan
1. Kerjasama Berbuntut Penjara
Keikutsertaan Indonesia dalam keanggotan World Trade Organization (WTO) dengan meratifikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional tentang TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) telah mewajibkan Indonesia untuk membuat peraturan perundang-undangan dalam bidang hak milik intelektual yang mendukung pedagangan bebas.
Beberapa Undang-Undang yang telah terbentuk antara lain Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek, Undang-Undang Rahasia Dagang, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Desain Industri dan lain-lain.
Kasus yang menarik untuk dikaji adalah kasus yang menimpa petani-petani di Kediri yang dikriminalkan melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak milik intelektual.
Kronologi
Pak Tukirin Dituduh Mencuri Benih Jagung dan Melakukan Sertifikasi Liar Oleh PT. BISI.
1. Pada periode tahun 1994 – 1998 Pak Tukirin pernah bergabung dalam proyek kerjasama pembenihan jagung dengan PT.Benih Inti Subur Intani (BISI) Kediri dan sejak tahun 1999 Pak Tukirin tidak lagi bekerjasama dengan PT.BISI ;
2. Pada akhir Juli 2003, beliau membeli benih jagung berlabel produksi PT.BISI di sebuah toko benih dekat rumahnya;
3. Cara budidaya Pak Tukirin yaitu melakukan perkawinan silang antara tanaman jantan dan betina ternyata berhasil serta jagung yang dipanen dapat digunakan sebagai benih dan tumbuh dengan baik;
4. Pak Tukirin mengembangkan pengetahuan mengenai budaya jagung yang dimilikinya, agar benih jagung tersebut dapat digunakan sebagai benih.
5. Ada perbedaan bentuk tanaman jagung yang dipelihara oleh Pak Tukirin dan PT.BISI yaitu pada tanaman jantannya;
6. Jagung “jantan” PT.BISI memiliki ciri bunga mengumpul (ngluncup) berwarna ungu merah, daun berdiri/tegak dengan warna berbintik-bintik kuning ;
7. Jagung "jantan” Pak Tukirin mempunyai ciri bunga mekar berwarna putih, tidak lagi merah dan daunnya melengkung;
8. Akhir tahun 2004, Pak Tukirin (62 tahun) terkejut mengetahui dua anggota polisi mendadak datang menemuinya di rumah. Satu polisi menemuinya, sementara lainnya menuju ladang jagung miliknya mengambil beberapa batang jagung sebagai barang bukti.
9. Pak Tukirin dituduh mencuri benih jagung oleh PT.BISI, perusahaan penghasil benih jagung berlabel “BISI” dan perusahaan juga menuduh Pak Tukirin melakukan sertifikasi liar atas benih jagung yang mereka patenkan tersebut ;
10. Akhirnya PT. BISI melaporkan Pak Tukirin ke polisi dengan tuduhan melakukan sertifikasi liar;
11. PN. Kediri memutus bersalah kepada Pak Tukirin karena melakukan sertifikasi liar dan sekarang pemeriksaan masih dalam tahap banding.
Kasus Kediri ini berawal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk dan PT. BISI yang telah mengadakan perjanjian kerjasama penanaman jagung di lahan petani, dimana program kerjasama tersebut bertujuan untuk memberdayakan kemampuan petani untuk menanam jagung hibrida. Dalam perjanjian kerjasama tersebut hanya berlaku untuk satu kali tanam, sehingga setiap musim tanam kontrak selalu diperbarui lagi. Selama menjalani kontrak kerjasama tersebut, Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apa-apa termasuk sumbangan ke PAD (Pendapat Asli Daerah).
Kerjasama tersebut dimulai oleh tawaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) PT. BISI yang bernama Pak Muslich kepada PPL Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Daerah Kabupaten Nganjuk, Pak Suryadi. Selanjutnya Pak Suryadi dan kelompok tani setempat yang diketuai oleh Pak Mansyur mengkoordinir petani sejumlah 10 orang - yang salah satunya bernama Pak Tukirin. Pak Suryadi mempunyai tugas untuk menjelaskan dan membimbing para petani.
Pak Tukirin bergabung dalam proyek kerjasama pembenihan jagung dengan PT. BISI pada periode 1994-1998 dan sejak tahun 1999 Pak Tukirin tidak lagi bekerjasama dengan PT. BISI. Kerjasama ini dilakukan tanpa ada kontrak perjanjian di atas kertas. Untuk memproduksi jagung yang akan dipasarkan, PT. BISI menerapkan konsep kerjasama penanaman dengan petani. PT. BISI menjual dengan bentuk kredit benih induk kepada petani yang akan menjadi mitranya. Hasil panen petani seluruhnya harus diserahkan kepada PT. BISI dalam bentuk jagung gelondongan, yaitu butir jagung masih berada di tongkolnya. Selain itu juga perusahaan memberikan target jumlah jagung yang mesti di hasilkan dari sejumlah benih induk yang diberikan. Selama proyek berlangsung, Pak Tukirin berhasil menjadi penghasil benih mitra PT. BISI terbaik kedua se-kecamatan Ngoronggot kabupaten Kediri.
Mulai timbul permasalahan ketika hubungan kerjasama dihentikan oleh PT. BISI tanpa ada penjelasan kepada para petani, termasuk Pak Tukirin. Banyak petani yang sudah mahir melakukan pola tanam ala PT Bisi, terus melakukan pola tanam tersebut meski tidak dilanjutkannya proyek tanam PT Bisi.
Pada akhir Juli 2003, Pak Tukirin membeli jagung berlabel produksi PT. BISI di sebuah toko benih dekat rumahnya. Benih tersebut kemudian ditanam sebagaimana petani menanam jagung pada umumnya, dengan maksud dibudidaya untuk konsumsi, bukan untuk penangkaran benih. Dalam masa tanam tersebut, Pak Tukirin melihat ada perbedaan bentuk fisik dari tanaman jagung yang ditanamnya.
Berdasarkan pengalaman yang dimilikinya, Pak Tukirin mencoba mengidentifikasi tanaman jagung yang dimilikinya. Ada jenis tanaman jagung yang lebih rendah tinggi batangnya dan besar bijinya. Bentuk tanaman jagung demikian disebutnya jagung jantan. Pada saat panen, Pak Tukirin memilih jagungnya berdasarkan kategori yang dibuatnya, yaitu jagung jantan dan betina.
Cara Tanam yang Diajarkan PT. BISI Dalam Pembenihan Jagung
Jika di sekitar area pertanaman ada yang menanam jagung, maka harus ada jarak waktu tanam selama 25 hari. Jarak waktu tanam diatur untuk mencegah terjadinya penyerbukan silang dengan tanaman jagung biasa.
Apabila waktu tanam bersamaan dengan jagung biasa, maka jarak antara lahan dengan benih hibrida PT. BISI dan lahan dengan benih biasa harus berjarak 100 meter.
Petani diajarkan tehnik budidaya jagung dengan cara pemotongan serbuk sari. Jagung ditanam dalam 4 baris, dimana 3 baris tanaman dipotong serbuk sarinya dan 1 baris dipertahankan serbuk sarinya. Pemotongan tersebut berfungsi untuk meningkatkan peluang terjadinya penyerbukan silang antar jagung. Demikian pola tersebut diterapkan pada baris berikutnya.
Pada proyek pembenihan jagung PT. BISI, tanaman jagung “betina” (yang dibiarkan serbuk sarinya tumbuh) dibabat habis setelah proses penyerbukan silang selesai. Biasanya penyerbukan dalam waktu 80-90 hari.
Jagung “jantan” milik PT. BISI memiliki ciri bunga mengumpul (“ngeluncup”), berwarna ungu merah, daun berdiri/tegak dengan warna berbintik-bintik kuning.
Pola tanam yang diterapkan dalam proyek pembenihan jagung PT. BISI yaitu dengan pola tanam dengan baris “betina dan jantan”.
Cara tanam Jagung Pak Tukirin
Tanaman jagung “betina” tetap dibiarkan tumbuh setelah proses penyerbukan silang selesai.
Tanaman jagung “jantan” Pak Tukirin mempunyai ciri bunga mekar (“mekrok” dan “kepyar”, berwarna putih, tidak lagi merah, dan daunnya melengkung (“nelung”).
Pola tanam jagung yang dilakukan oleh Pak Tukirin yaitu dengan pola tanam barisan “betina-betina-jantan” dan seterusnya.
Pada saat tanaman jagung betina telah berbunga, bunga tersebut dipotongnya, sementara tanaman yang jantan tetap dibiarkan tumbuh serbuk sarinya. Diharapkan akan terjadi perkawinan silang antara tanaman jantan dan betina.
Secara umum, pembenihan jagung hibrida adalah sama dan tidak ada perusahaan yang memiliki hak atas cara budidaya, termasuk PT.BISI, DUPONT, dan MONSANTO juga melakukan pola tanam yang sama. Bahkan hal ini diatur oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Pada aturan standar mutu BSN disebutkan mengenai pembenihan oleh jagung jantan dan betina, adanya sistem pembenihan persilangan tunggal (single cross), persilangan ganda (double cross), atau komposit. Dengan demikian, cara tanam jagung dengan penyerbukan silang bukanlah hak eksklusif satu perusahaan benih.
Namun dengan tuduhan melakukan sertifikasi liar, mencuri benih dan meniru cara bercocok tanam, pada tanggal 17 Februari 2005, pak Tukirin akhirnya dijatuhi hukuman percobaan 1 tahun tidak boleh menanam jagung dan masing-masing dikenai denda sebesar Rp. 200.000, 00 dan biaya sidang Rp. 2000, 00. Dan jika dalam waktu tersebut terbukti melakukan pelanggaran maka dapat dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan.
2. Tentang Rahasia Dagang
Kasus Pak Tukirin, bisa ditelaah dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Pasal 1 ayat (1) : “Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.”
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) tersebut adalah : Pertama. Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), yang dimaksud dengan Informasi adalah keterangan, pemberitahuan, kabar, berita. Teknologi yaitu kemampuan teknik yang belandaskan pengetahuan ilmu eksakta yang bersandarkan proses teknis. Kedua. Mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan maksudnya yaitu mempunyai nilai jual dalam suatu kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Ketiga. Dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Maksudnya tidak boleh dipublikaasikan dan/atau tidak boleh diketahui oleh pihak lain kecuali pemiliknya.
Apabila kita cermati secara seksama unsur ketiga pasal 1 ayat (1) untuk dapat dikatakan melanggar Undang-Undang Rahasia Dagang, pemilik rahasia dagang harus melakukan upaya-upaya tertentu untuk menjaga kerahasiaannya. Apabila pemilik modal secara sukarela menyebarkan informasinya ke orang umum baik sengaja maupun tidak sengaja maka hal itu tidak boleh lagi dikatakan sebagai rahasia dagang.
Cara menyimpan rahasia dagang bisa dilakukan dengan cara menjelaskan tentang kerahasiaan itu sendiri kepada para pekerjanya baik lisan maupun tulisan dan untuk pihak ketiga dapat juga dilakukan dalam bentuk perjanjian.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembibitan benih jagung hibrida merupakan atau temasuk dalam bidang teknologi yang mempunyai nilai jual untuk mendapatkan keuntungan, yang kerahasiaannya hanya pemiliknya yang mengetahuinya.
Namun pada kenyataannya, PT. BISI telah mempublikasikan tekhnik atau cara menanam jagung. Menginformasikan melalui program kerjasama kepada 10 petani yang pada awalnya bertujuan untuk memberdayakan kemampuan petani untuk menanam jagung hibrida.
Pasal 2 Undang-Undang Rahasia Dagang: “Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum”.
Bersandar hal itu, maka perlindungan rahasia dagang meliputi : Pertama. Metode produksi. Yaitu cara yang teratur dan terpikir secara baik-baik untuk mencapai maksud yaitu barang yang dibuat atau dihasilkan; Kedua. Metode Pengolahan. Yaitu adalah cara yang teratur dan terpikir secara baik-baik untuk mencapai maksud yaitu proses atau pembuatan; Ketiga. Metode Penjualan. Yaitu cara yang teratur dan terpikir secara baik-baik untuk mencapai maksud yaitu proses menjual; Keempat. Informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum (penjelasannya sesuai dengan pasal 1 ayat 1)
Jadi pembibitan benih jagung hibrida, temasuk dalam lingkup metode produksi, metode penjualan dan atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Pasal 13 Undang-Undang Rahasia Dagang menyebutkan: “Pelanggaran rahasia dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan rahasia dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan.”
Maka pelanggaran rahasia dagang terjadi apabila, Pertama. Seseorang dengan sengaja mengungkapkan rahasia dagang. Seseorang (dalam hal ini Pak Tukirin) tidak dapat dikatakan sengaja mengungkapkan rahasia dagang, karena dia melakukan pola tanam yang berbeda dengan PT. BISI; Kedua. Mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, kerjasama dilakukan tanpa ada kontrak perjanjian di atas kertas, tetapi PT. BISI menerapkan konsep kerjasama penanaman dengan petani, yaitu menyerahkan (menjual dengan bentuk kredit) benih induk kepada petani yang akan menjadi mitranya. Hasil panen petani seluruhnya harus diserahkan kepada PT. BISI dalam bentuk jagung gelondongan, yaitu butir jagung masih berada di tongkolnya. Selain itu juga perusahaan memberikan target jumlah jagung yang mesti dihasilkan dari sejumlah benih induk yang diberikan. Hasil panen para petani yang menjadi mitra PT. BISI (pada saat menjadi mitra) seluruhnya harus diserahkan kepada PT. BISI yang hasil panen tersebut diambil langsung dari ladang dan tidak ada yang disisakan, dan PT. BISI mencatat benih yang diterima petani dan perkiraan hasil panen. Petani dalam hal ini bertindak sebagai “pabrik” penghasil benih hibrida turunan pertama (F1) yang kemudian dipasarkan oleh PT. BISI ke seluruh Indonesia.
Lebih diperkuat dalam Pasal 14 Undang-Undang Rahasia Dagang: “Seseorang dianggap melanggar rahasia dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai rahasia dagang tersebut dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 15 (b) Undang-Undang Rahasia Dagang menjelaskan “Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 tidak dianggap pelanggaran rahasia dagang apabila tindak rekayasa ulang atas produk yang dihasilkan penggunaan rahasia dagang milik orang lain yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut.”
Yang dimaksud dengan “Rekayasa Ulang” (reverse engineering) adalah suatu tindakan analisis dan evaluasi untuk mengetahui informasi tentang suatu teknologi yang sudah ada.
Berdasarkan pandangan hukum tersebut di atas maka Pak Tukirin tidak melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, karena Pola tanam yang dipublikasikan oleh PT. BISI sebagai pemilik rahasia dagang membuktikan bahwa para petani (10 orang) telah mengetahuinya dan dianggap tidak bersifat rahasia lagi. Dan juga, Pak Tukirin tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 karena cara tanam dan teknik pemotongan serbuk sari yang digunakan oleh Pak Tukirin berbeda dengan PT. BISI, dimana Pak Tukirmin menggunakan pola dengan baris “betina-betina-betina-jantan” sedangkan PT. BISI menggunakan pola tanam dengan baris “betina-betina-jantan”.
Walaupun dalam kasus ini Pak tukirin tidak bisa di jerat dalam undang-undang ini, tapi keberadaan undang-undang ini akan berpotensi untuk menjerat masyarakat ke Pengadilan.
Dari awal telah terlihat dengan jelas bahwa munculnya Undang-Undang Rahasia Dagang lebih banyak menguntungkan pemodal dari pada petani itu sendiri karena undang-undang itu sendiri ditujukan untuk melindungi kepentingan para pemodal.
3. Tentang Sistem Budidaya Tanaman
Menyimak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Pasal 1 ayat (1) : Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.
Kemudian ayat (6) : Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.
Lalu Pasal 3 : Sistem Budidaya Tanaman bertujuan : a. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor; b. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani; c. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
Lantas Pasal 13 ayat (2): Benih bina yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dan ayat (3): Benih bina yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi label. Serta ayat (4): Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara sertifikasi dan pelabelan benih bina diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Juga Pasal 14 ayat (1): Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dilakukan oleh Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.
Dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (2) diterangkan: Sertifikasi merupakan kegiatan untuk mempertahankan mutu benih dan kemurnian varietas, yang dilaksanakan dengan: a. Pemeriksaan terhadap kebenaran benih sumber atau pohon induk, petanaman dan pertanaman, isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar, alat panen dan pengolahan benih, tercampurnya benih; b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetik, fisiologis dan fisik; c. Pengawasan pemasangan label. Lebih lanjut di Ayat (3) yang dimaksud dengan label adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji laboratorium, serta akhir masa edar benih.
Pasal 61: Pelanggaran atas ketentuan di atas, dikenai sanksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 61 ayat 1 huruf “b”, yang berbunyi: (1) Barang siapa dengan sengaja: b. melakukan sertifikasi tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan Pak Tukirin dan rekannya dapat dikategorikan sebagai perbuatan melakukan sertifikasi liar ?
Dari uraian dan penjelasan pada pasal-pasal tersebut di atas, maka perbuatan Pak Tukirin melakukan penanaman silang, memang memenuhi unsur kegiatan sertifikasi sebagaimana didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (2) dan (3).
Benih yang ditanam dan disilangkan oleh Pak Tukirin dan petani-petani lain adalah benih yang telah dilepas dan diedarkan oleh PT. BISI melalui agen dan kios-kios benih yang ada di Jawa Timur tetapi muncul permasalahan baru diakibatkan munculnya varietas baru dari benih tersebut. Benih jagung hasil tanam Pak Tukirin yang kemudian digunakan untuk ditanam kembali menurut Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman harus terlebih dahulu menempuh proses sertifikasi sebelum dilepas dan diedarkan oleh perusahaan.
Undang-Undang ini sebenarnya mempersempit dan menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan budidaya tanaman.. Padahal Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman menyebutkan bahwa Pemerintah perlu memberikan peluang dan kemudahan tertentu yang dapat mendorong masyarakat untuk berperanserta dalam pengembangan budidaya tanaman.
Kesimpulannya adalah Pak Tukirin oleh Undang-Undang telah terbukti melakukan sertifikasi liar sebab benih yang digunakan untuk ditanam kembali tersebut telah diedarkan kepada pihak lain.
4. Tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman menyebutkan, “Perlindungan varietas tanaman (PVT), adalah perlindungan khusus yang diberikan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. ”
Berdasarkan pasal tersebut - dalam kasus Kediri - seharusnya para petani mendapatkan perlindungan dari Negara dalam hal ini pemerintah terhadap varietas tanaman yang mereka hasilkan. Karena bentuk tanaman yang dihasilkan oleh para petani berbeda dengan bentuk tanaman jagung milik PT. BISI, sehingga bentuk tanaman milik petani adalah varietas baru.
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT menjelaskan, “Hak perlindungan varietas tanaman adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemulia dan/ atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.”
Kalimat “dan/ atau” pada pasal tersebut memberikan hak khusus terhadap Perlindungan varietas tanaman kepada petani secara otomatis, meskipun para petani tidak mengajukan hak PVT kepada kantor PVT. Karena kalimat “dan/ atau” bisa bermakna salah satu, yaitu yang tidak mengajukan hak PVT maupun yang mengajukan hak PVT. Bagi yang tidak mendaftarkan hak PVTnya pun tidak menjadi masalah. Karena dalam Undang-Undang PVT sendiri tidak disebutkan bahwa setiap varietas baru harus didaftarkan. Sebenarnya diberikannya perlindungan PVT oleh pemerintah adalah untuk pihak yang menginginkan varietasnya tidak diikuti oleh orang lain demi keperluan perhitungan ekonomi.
Agus Sarjono, pengajar mata kuliah Hukum Ekonomi Universitas Indonesia mengatakan (hukumonline.com, Jumat 26 Januari 2007), bahwa pada kasus petani di Jawa Timur, hakim seharusnya menggunakan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 yang memberikan tentang hak khusus negara kepada petani pemulia.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT memaparkan, “Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotype atau kombinasi genotype yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.”
Melalu pasal tersebut menjadi jelas bahwa tanaman jagung milik petani Kediri merupakan varietas baru, karena berbeda dengan tanaman milik PT. BISI dengan mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda.
Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 mengungkapkan, “Permohonan hak PVT diajukan kepada kantor PVT secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh menteri.”
Berdasarkan pasal tersebut semua orang atau badan hukum yang akan mendaftarkan varietas barunya harus mengajukan hak PVT tersebut kepada kantor PVT secara tertulis.
Surat permohonan hak PVT harus memuat: 1. Tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan ; 2. Nama, alamat lengkap pemohon ; 3. Nama, alamat lengkap dan kewarganegaraan pemulia serta nama ahli waris yang ditunjuk ; 4. Nama varietas ; 5. Deskripsi varietas yang mencakup asal usul atau istilah, ciri-ciri morfologi dan sifat-sifat penting lainnya ; 6. Gambar dan/ atau foto yang disebut dalam deskripsi, yang diperlukan untuk memperjelas deskripsinya (11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000).
Format surat permohonan hak PVT sudah ditentukan oleh kantor PVT, yang di dalamnya terdapat item-item yang harus diisi sesuai dengan bunyi pasal di atas. Sedangkan Permohonan hak PVT dapat diajukan oleh : 1. Pemulia; 2. Orang atau badan hukum yang mempekerjakan pemulia atau yang memesan varietas dari pemulia ; 3. Ahli waris ; 4. Konsultan PVT (Pasal 12 ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000)
Bersandar Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, Jangka waktu PVT : 1. 20 tahun untuk tanaman semusim; 2. 25 tahun untuk tanaman yang dipanen tahunan.
5. Korelasi Budidaya Tanaman dan Paten
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 1 ayat (6) menyatakan, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.
Sertifikasi yang dimaksud dalam pasal di atas adalah izin untuk mengedarkan benih, bahwa benih yang akan diedarkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Tidak menjadi masalah, apakah benih tersebut sudah dimiliki hak PVTnya oleh orang lain atau belum. Sedangkan hak PVT adalah sertifikat untuk menguasai benih atau varietas baru agar tidak diikuti oleh orang lain. Jadi, garis perbedaannya terletak pada fungsinya. Jika dalam Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman sertifikasi berfungsi sebagai izin pengedaran benih, sedangkan dalam Undang-Undang PVT sertifikasi berfungsi sebagai penguasaan terhadap benih atau varietas baru.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 48 ayat (1) menguraikan, “Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) yang melakukan usaha sistem budidaya tanaman tertentu di atas skala tertentu wajib memiiki izin.
Pasal di atas menjelaskan bahwa usaha sistem budidaya tanaman dalam skala tertentu harus memiliki izin. Memang tidak disebutkan secara eksplisit apa yang menjadi ukuran skala tertentu. Tapi pasal tersebut mempunyai konsekuensi logis bahwa usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh petani kecil di Kediri tidak memerlukan izin peredarannya. Sedangkan mengenai hak PVT, dalam Undang-Undang PVT sendiri tidak disebutkan bahwa setiap varietas baru harus didaftarkan. Karena sebenarnya diberikannya perlindungan PVT oleh pemerintah adalah untuk pihak yang menginginkan varietasnya tidak diikuti oleh orang lain demi keperluan perhitungan ekonomi.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten memaparkan, Pasal 1 ayat (1): “Paten adalah hak ekslusif diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.”
Pasal 2: “Paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah infentif serta dapat diterapkan dalam industri.”
Pasal 7 huruf d angka ii: “Paten tidak diberikan untuk invensi tentang proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non biologis atau mikro biologis.”
Inti dari Undang-Undang Paten jelas sekali perbedaannya dengan Undang-Undang PVT, karena Undang-Undang Paten hanya diberikan kepada bidang tekhnologi, kalaupun diberikan kepada tanaman dan hewan hanya pada proses non-biologis dan mikro biologis. Sedangkan perkembangbiakan yang terjadi pada jagung yang ditanam oleh para petani jelas merupakan proses biologis. Sehingga kalau petani Kediri ingin menguasai varietas barunya hanya bisa didaftarkan melalui permohonan hak PVT, dan tidak dapat diminta prosedur permohonan paten.
6. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan analisa-analisa hukum tersebut di atas, pak Tukirin bisa dikatakan telah memenuhi unsur sertifikasi liar sebagaimana diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem budidaya Tanaman. Tetapi tidak untuk pelanggaran paten dan rahasia dagang.
Walaupun dalam kasus ini Pak Tukirin hanya dapat dikenakan tindak pidana sertifikasi liar, tetapi kasus sejenis ini kemungkinan untuk dikenakan tindak pidana lain seperti paten, rahasia dagang, varietas tanaman dan yang lainnya sangat besar karena hampir seluruh ketentuan tersebut tidak memberikan perlindungan hukum bagi para petani.
Bab III
Pembaruan Hukum
1. Membaca Momentum
Keresahan para petani pemulia benih, serikat tani, dan para pembela petani, atas Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, menukan momentum untuk melakukan pembaruan hukum, yaitu melalui mekanisme Prolegnas di DPR dan mekanisme judicial review di Mahmakah Konstitusi.
Bahwasannya dalam Progam Legislasi Nasional tahun 2010-2014 yang telah disahkan DPR, telah memasukan Revisi Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman dalam daftar agenda. Hal ini sesungguhnya menunjukan kampanye organisasi masyarakat bergaung di DPR sekaligus memberikan tugas baru bagaimana mendorong revisi atau perubagahan undang-undang tersebut menjadi prioritas, paling tidak untuk tahun 2011, untuk itu yang diperlukan adalah penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tenntang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman.
Sedangkan di Mahkamah Konstitusi, melalui mekanisme judicial review, bisa dilakukan secepatnya, asal saja segera diselesaikan Materi Gugatan, Surat Kuasa, dan Saksi Ahli. Dan bila diinvetarasir maka yang organisasi masyarakat punyai antara lain: 1. Tersedianya kuasa hukum (Advokat Pembela HAM); 2. Petani korban (untuk Gugatan Perwakilan atau Gugatan Warga Negara); 3. Serikat Tani (gugatan Legal Standing); 4. Akademisi (Saksi Ahli)
2. Sistem Hukum
Dalam konteks Indonesia, sistem hukum nasional adalah sebagai “suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.”
Dengan tolok ukur Pancasila dan titik tolak UUD 1945 sebagai konsep dasar sistem hukum nasional, maka sila-sila Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan, kebulatan dan keseluruhan (entity), nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menentukan sistem nilai di dalam sistem hukum nasional.
Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari proses pengesahan Kovenan Internasional Hak –hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, maka Indonesia juga musti bersedia menerima/ menyetujui berbagai kewajiban yang terkandung di dalam suatu perjanjian internasional tesebut. Sehingga, secara nasional, bersifat konstitusional karena hanya pihak yang berwenang di dalam suatu negara (pemerintah atau parlemen) yang dapat menandatanganinya. Artinya, KIHESB harus dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam perumusan dan penyusunan legislasi nasional.
Dengan adanya sistem nilai demikian, maka bangsa Indonesia mempunyai tuntutan nilai yang menunjukkan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Nilai-nilai tesebut juga menjadi kerangka acuan dalam memecahkan persoalan-persoalan dasar di bidang hukum yang mencakup perencanaan hukum (legislation planning), proses pembentukan hukum (law making process), penegakan hukum (law enforcement), dan kesadaran hukum (law awareness).
Kesadaran hukum hukum ini dipahami sebagai bagian budaya dari budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, sistem hukum nasional menyerap sistem nilai yang terdiri atas sejumlah nilai yang saling berkaitan yang bersumber dari pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga merupakan sistem hukum yang serasi dengan semangat keadilan dan cita-cita hukum, serasi dengan pandangan mengenai keadilan (sense of justice).
Dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, arah kebijakan sub-A Hukum angka 2, dirumuskan: “Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”
Rumusan di atas menggariskan bahwa “menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu” merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan. Sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada hukum positif tertinggi, yaitu Konstitusi (UUD 1945) sebagai supreme law of the land, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, sub-subsistem hukum sebagai keseluruhan dalam system hukum nasional, satu sama lain berkaitan dalam hubungan yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang dan konsisten serta tidak berbenturan, oleh karena memiliki asas yang terintegrasi dan dijiwai Pancasila serta bersumber pada UUD 1945. Sesuai dengan lingkup pengaturannya, aturan-aturan hukum dikelompokkan menjadi kelompok bidang hukum tertentu yang selanjutnya dapat dibagi menjadi sub-subsistem yang memiliki asas yang terintegrasi sehingga harmonis, selaras, serasi, seimbang dan konsisten.
Selanjutnya, guna mengukur dan memberikan kualifikasi terhadap sistem hukum sebagai sistem hukum yang mengandung moralitas tertentu, diletakkan pada delapan “principles of legality”, yaitu:
1. Peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc;
2. Aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi obyek pengaturan kebijakan-kebijakan tersebut;
3. Tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang;
4. Dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
5. Tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentang satu sama lain;
6. Tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7. Tidak boleh terus menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilang orientasi;
8. Harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
3. Program Legislasi Nasional
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Prolegnas. Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengartikan Prolegnas sebagai "instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.”
Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah secara berencana, terpadu dan sistematis, yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasi oleh Badan Legislasi DPR-RI, yang merupakan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. Adapun Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan, dalam hal ini yang dimaksud adalah Menteri Hukum dan HAM.
Sebagai instrumen perencanaan yang disusun secara bersama-sama antara DPR dan Pemerintah, maka Prolegnas merupakan guideline bagi pelaksanaan pembangunan substansi hukum dalam jangka waktu periode tertentu. Dengan ditunjuknya Menteri Hukum dan HAM yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan, maka Departemen Hukum dan HAM adalah satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan program legislasi dari departemen/instansi di lingkungan pemerintah. Hal ini diatur dalam Perpres No. 61 tahun 2005 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Prolegnas memiliki kedudukan penting dalam pembangunan hukum nasional karena program ini secara sistematis menetapkan prioritas rancangan undang-undang yang akan dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Dengan kata lain, prolegnas merupakan arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak untuk membuat dan melaksanakan pembentukan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara. Oleh karena itu dalam konteks ini, Prolegnas dapat melaksanakan perannya untuk: Sebagai arahan bagi lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan Sebagai alat untuk menilai atau mengkritisi apakah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan upaya-upaya pencapaian tujuan negara.
Maksud diadakannya prolegnas adalah: pertama, untuk memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum di bidang peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, kedua, menyusun skala prioritas penyusunan rancangan undang-undang sebagai suatu rogram yang berkesinambungan dan terpadu sebagai pedoman bersama dalam pembentukan undang-undang oleh lembaga yang berwenang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional, dan ketiga, sebagai sarana untuk mewujudkan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.
Secara operasional, Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun berdasarkan skala prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Sidang Paripurna DPR tanggal 1 Februari 2005 telah ditetapkann 10 kriteria RUU yang diprioritaskan dari aspek substansinya, yakni:
1. RUU yang merupakan perintah dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. RUU yang merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. RUU yang terkait dengan pelaksanaan undang undang lain;
4. RUU yang mendorong percepatan reformasi;
5. RUU yang merupakan warisan Propenas 2000 2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. RUU yang menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang undang yang bertentangan dengan undang¬- undang lainnya;
7. RUU yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;
8. RUU yang berorientasi pada pengaturan perlindaungan HAM dengan memperhatikan prinsip prinsip kesetaraan dan keadilan jender;
9. RUU yang mendukung pemulihan dan pernbangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. RUU yang secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.
Di lingkungan pemerintah selain kesepuluh syarat tersebut, juga diterapkan syarat-syarat yang lebih ketat yaitu RUU yang hendak dimasukkan dalam prioritas tahunan prolegnas harus sudah, yaitu telah disusun Naskah Akademik, telah disusun Rancangan Undang Undangnya, dan telah dilakukan Harmonisasi.
Ketiga syarat tambahan tersebut diterapkan untuk menghindari perencanaan pembentukan perundangan-undangan yang disusun dalam prolegnas hanya menjadi daftar keinginan semata yang tidak dapat direalisasikan. Selain itu penambahan syarat ini menunjukkan bahwa sebagai instrumen perencanaan, Prolegnas tidak hanya memikirkan mengenai jumlah RUU yang akan dibuat (kuantitas), tetapi juga berusaha untuk memikirkan kualitas (sarana quality control) dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dasar pertimbangan pencantuman syarat Naskah Akademik sebagai salah satu syarat penentuan prioritas prolegnas dikarenakan dengan adanya naskah akademik yang secara ilmiah berisi mengenai latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan obyek atau arah pengaturan dalam suatu undang-undang, maka akan mempermudah pada saat penyusunan materi dan pembahasan rancangan undang-undang. Argumen-argumen ilmiah yang berlandaskan alasan filosofis, yuridis, sosiologisnya dari asas pembentukan perundang-undangan yang baik dari suatu naskah akademik akan memberikan kemudahan bagi legal drafter untuk menarik norma-norma bagi peraturan yang dibuat. Syarat harmonisasi dicantumkan agar rancangan undang-undang yang akan diprioritaskan sudah melalui proses penyelarasan, penyesuaian, pembulatan konsepsi dengan peraturan perundang-undangan yang lain baik yang setingkat maupun lebih tinggi hirarkinya.
Dalam tahap penyusunan Program Legislasi, diadakan Forum konsultasi yang dikoordinir oleh Menteri Hukum dan HAM adalah Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas, yang diselenggarakan setiap tahun. Rapat Koordinasi ini melibatkan seluruh wakil jajaran departemen/LPND, di samping itu juga melibatkan para ahli dari lingkungan perguruan tinggi, wakil wakil organisasi di bidang sosial politik, profesi, organisasi keagamaan, pemuda/mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat. Forum ini di samping untuk mengkoordinasikan penyusunan perencanaan pembentukan peraturan perundang undangan yang telah atau yang baru akan disusun oleh seluruh departemen/LPND, juga untuk menetapkan rencana rencana legislasi yang akan menjadi prioritas pembahasannya bersama DPR.
Hasil dari Rapat koordinasi di lingkungan pemerintah berupa suatu ketetapan Prolegnas Pemerintah yang meliputi:
1. Program legislasi mana saja yang layak untuk diajukan ke DPR sebagai prioritas Prolegnas dari Pemerintah, yang me¬mu¬at rencana rencana legislasi yang telah memenuhi sya¬rat syarat atau kriteria tertentu, yaitu telah disusun: naskah akademiknya, telah disusun rancangan undang undangnya, dan telah diharmonisasi yaitu dibahas dalam forum antar departemen;
2. Program legislasi yang masih dalam tahap pe¬nyem¬pur¬na¬an, yakni masih dalam proses penyusunan di lingkungan internal departemen/LPND, baik penyusunan naskah akademik, rancangan undang undang, atau. RUU yang masih harus menempuh pembahasan antar departemen;
3. Program legislasi yang masih dalam tahap persiapan, yakni masih dalam bentuk kajian atau penelitian;
4. Program legislasi yang belum digarap. Umumnya berupa rencana rencana legislasi baru;
Selanjutnya, hasil rapat koordinasi Prolegnas di lingkungan pemerintah tersebut oleh Menteri Hukum dan HAM dilaporkan kepada Presiden, terutama program program legislasi yang ditetapkan sebagai prioritas. Apabila sudah memperoleh persetujuan Presiden, hasil penyusunan. Prolegnas di lingkungan Pemerintah selanjutnya dibawa ke forum koordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
4. Judicial Review
Judicial Review disebut juga dengan pengujian kembali suatu produk hukum. Untuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945/konstitusi, permohonan gugatan pengujian dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diserahkan ke Mahkamah Agung (MA).
Pengujian Materiil adalah adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005
Pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. Badan hukum publik atau privat; atau
4. Lembaga negara.
Sidang Mahkamah Konstitusi bersifat terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim, demikian bunyi Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Untuk dapat mengajukan gugatan permohonan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 mensyaratkan, permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat:
a. Identitas Pemohon, meliputi:
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir/ umur
3. Agama
4. Pekerjaan
5. Kewarganegaraan
6. Alamat Lengkap
7. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
1. Kewenangan Mahkamah melakukan uji materiil dan/atau formil;
2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
3. Alasan permohonan pengujian, diuraikan secara jelas dan rinci.
c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
3. Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
e. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya;
5. Aksi Hukum
Para pengguggat dapat memilih bentuk gugatan, sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya, yang itu bisa berupa Gugatan Perwakilan, Gugatan Organisasi, dan Gugatan Warga Negara
A. Class Action
Pengertian Class Action dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2002 disebut sebagai Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Orang (tunggal) atau orang-orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai Penggugat disebut sebagai Wakil Kelompok (Class Representative) adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
Sedangkan Anggota Kelompok (Class Members) adalah sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh Wakil Kelompok di Pengadilan.
Ada beberapa manfaat dari prosedur gugatan Class Action, yaitu;
1. Ekonomis karena mencegah pengulangan gugatan-gugatan serupa secara individual. Tidaklah ekonomis juga bagi Pengadilan apabila harus melayani gugatan-gugatan sejenis secara individual. Selain itu juga akan dirasakan ekonomis oleh Tergugat karena Tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang dirugikan
2. Akses pada Keadilan
a. Apabila hal yang dituntut oleh individu tidak sebanding dengan biaya gugatan
b. Proses berperkara cepat, sederhana dan biaya murah
c. Tidak diperlukan pengidentifikasian nama sehingga dapat mencegah adanya intimidasi terhadap anggota kelompok
3. Perubahan Perilaku
Dimaksudkan untuk melakukan perubahan sikap bagi pelaku pelanggaran karena dengan Class Action akan memberi peluang kepada Pencari Keadilan untuk mengajukan gugatan sehingga mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Syarat dari prosedur gugatan Class Action?
1. Anggota kelompok berjumlah banyak
2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya
3. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya
4. Tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat adalah berupa ganti kerugian dalam bentuk uang atau tindakan tertentu baik secara individu maupun komunal
Notifikasi adalah pemberitahuan dari wakil kelompok kepada anggota kelompok bahwa nasib mereka sedang diperjuangkan melalui Gugatan Class Action dan atau tentang putusan hakim (apabila telah ada putusan hakim atas perkara yang telah diajukan). Bentuk, model, isi, cara, media dan kurun waktu pemberitahuan harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Hakim.
Tujuan dari dilakukannya Notifikasi adalah agar masyarakat umum khususnya anggota kelompok yang telah didefinisikan dalam surat gugatan dapat mengetahui adanya gugatan serta dapat menentukan sikap terhadap gugatan dimaksud.
Notifikasi ada 2 yaitu :
1. Pernyataan Keluar (Opt. Out) : anggota kelompok yang tidak setuju atau berkeberatan terhadap adanya gugatan atau upaya hukum yang akan dilakukan dapat memilih menyatakan keluar dengan cara mengisi formulir pernyataan keluar yang dicantumkan dalam notifikasi
2. Pernyataan Masuk (Opt. In) : anggota kelompok yang setuju terhadap adanya gugatan atau upaya hukum yang akan dilakukan dapat memilih menyatakan masuk dengan cara mengisi formulir pernyataan masuk yang dicantumkan dalam notifikasi
B. Legal Standing
Legal Standing adalah hak gugat organisasi
Syarat mengajukan gugatan Legal Standing adalah:
1. Organisasi harus memiliki kapasitas hukum penuh yaitu berbadan hukum dan secara eksplisit pada anggaran dasarnya mencantumkan kepentingan yang serupa dengan yang diperjuangkan.
2. Organisasi yang bersangkutan harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian terhadap apa yang diperjuangkan yang nyata di masyarakat.
3. Organisasi tersebut harus cukup representatif.
4. Tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang.
C. Citizen Law Suit
Citizen Law Suit adalah gugatan yang diajukan oleh warga negara terhadap kebijakan dan atau tindakan dari Penyelenggara Negara yang melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berakibat terlanggarnya hak-hak konstitusinya atau hak-hak konstitusi warganegara lainnya yang tidak dapat memperjuangkannya karena kemiskinan, tertindas dan lainnya.
Yang dapat mengajukan mekanisme Citizen Law Suits antara lain:
1. Setiap warganegara yang menjadi pembayar pajak.
2. Setiap warganegara yang selama ini telah melakukan aktifitas publik yang berkaitan dengan kebijakan atau tindakan penyelenggara negara yang dianggap melanggar konstitusi atau peraturan perundang-undangan tertentu.
6. Hak dan Kewenangan Para Pihak
A. Kuasa Hukum
Ecoline Situmorang, S.H., Henry David Oliver Sitorus, S.H., Janses E. Sihaloho, S.H., Riando Tambunan, S.H., Beni Dikti Sinaga, S.H., M. Taufiqul Mujib, S.H. Ivan Valentine Ageung, S.H., Iki Dulagin, S.H., Ridwan Darmawan, S.H., Ridwan Darmawan, S.H., Ali Imran, S.H., dan Anton, S.H., adalah Advokat dan Pembela Umum yang tergabung dalam IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) yang berkantor di di Jalan Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama: (1). Aliansi Petani Indonesia; (2). Para wakil petani, berdasarkan surat kuasa khusus.
Gugatan ini dilakukan akibat adanya potensi kerugian dari, Undang-Undang Perlindungan Varietas Petani akan melahirkan: Pertama, memunculkan ketimpangan penguasaan benih dan sumber-sumber pangan lainnya; Kedua. Semakin memperburuk situasi pertanian;
B.Hakim Mahkamah Konstitusi
Hak Uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem hukum kita, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, dalam pasal 24 ayat (1), yang menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya …. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sedangkan pengaturan mengenai kewenangan hak uji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam pasal pasal 24 C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang selengkapnya menentukan sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selanjutnya pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangan untuk melakukan pengujian secara materiil, yaitu untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas merupakan hal yang baru dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, oleh karena baru dirumuskan dan disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Alasan yang mendasari keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah dalam rangka memenuhi dan menjawab kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan juga sebagai perkembangan dinamis praktek ketatanegaraan di Indonesia, mengingat dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, ternyata bukan hanya banyaknya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 atau undang-undang, melainkan justru banyak undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya seperti UUD 1945 atau banyaknya Undang-Undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah ternyata tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan Undang-Undang, yaitu: syarat-syarat filosofis, sosiologis dan yuridis. Masih melekat dalam ingatan kita beberapa peraturan perundang-undangan yang mendapat tentangan dari masyarakat atau tidak dapat diterapkan, seperti Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, Undang-Undang Migas, Undag-Undang Ketenagalistrikan, dan lain-lain.
Dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan hak uji kepada Mahkamah Konstitusi, memungkinkan Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi (Guardiance of constitution). Dengan kewenangannya ini, Mahkamah Konstitusi menjadi benteng dalam menjaga dan mempertahankan keadilan, dalam arti mengoreksi undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR, yang mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat yang diamanatkan dalam UUD 1945. Hal tersebut menjadikan dan/atau menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai peranan strategis dalam menjaga konstitusi sebagai penjabaran dari staatside yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
C. Para Penggugat
C.1. Hak Konstitusional
Bahwa dalam Penjelasan otentik naskah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kandungan pemikiran yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu mencakup juga pemikiran bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang juga disebut sebagai sistem demokrasi. Alinea keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah negara Indonesia. Alinea ini menentukan dengan jelas mengenai Tujuan Negara dan Dasar Negara Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi konstitusional.
Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan, dalam paham kedaulatan rakyat, yang didaulat dari segi politik tentu saja bukanlah persoon rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan sebagai keseluruhan. Rakyat berdaulat baik di lapangan politik maupun di lapangan perekonomian. Artinya, baik bidang politik maupun di bidang ekonomi, rakyatlah yang berperan sebagai pengambil keputusan tertinggi. Karena itu, dalam hubungannya dengan ’subject and sovereign’, kedua pengertian kekuasaan di bidang politik dan ekonomi tidak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat di bidang politik disebut demokrasi politik, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi disebut demokrasi ekonomi. Pandangan tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, yang sekarang setelah Perubahan Keempat diubah menjadi Bab tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.
Bahwa dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dinyatakan : “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”. Dan Undang-Undang Penanaman Modal, telah dan akan merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik). Oleh karenanya pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk memperjuangkan secara kolektif hak konstitusional dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang telah dan akan terhambat jika Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, yang merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik), tetap diberlakukan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dinyatakan : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dinyatakan: (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Bahwa pengajuan permohonan pengujian ini adalah untuk melaksanakan hak konstitusional berupa hak untuk mendapat jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak maupun bumi, air dan kekayaan alam yang ada di Indonesia tetap dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 dan Pasal 33 UUD 1945. Hak tersebut tidak akan terwujud jika Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman tetap diberlakukan.
C.2. Kedudukan Hukum dan Kepentingan
Didalam hukum acara perdata yang berlaku dinyatakan hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan (asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang geen rechtsingan), artinya hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan.
Dalam perkembangannya ternyata ketentuan dan atau asas tersebut tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, yang dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing (Legal Standing).
Walaupun begitu tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum (publik), akan tetapi hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu : a. Berbentuk badan hukum atau yayasan; b. Dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut; c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dalam permohonan pengujian ini, para pemohon menggunakan prosedur pengajuan dalam bentuk Organization Standing (Legal Standing), yang mana persyaratan-persyaratan pengajuan Organization Standing (Legal Standing) telah terpenuhi dalam Para Pemohon.
Pertama. Para Pemohon adalah organisasi masyarakat sipil yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang bergerak, berminat dan didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan pembelaan dan penegakan keadilan sosial, hukum dan HAM, termasuk hak-hak pekerja di Indonesia.
Kedua. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan, pembelaan dan penegakan keadilan sosial, hukum dan HAM, serta dalam mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam memperjuangkan penghargaan, penghormatan, perlindungan, pembelaan, pemajuan dan penegakan keadilan sosial, hukum dan HAM, terhadap siapapun juga tanpa mengenal jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dan lain-lain, tercermin dan atau ditentukan dalam anggaran dasar para pemohon.
ALIANSI PETANI INDONESIA (API)
Pasal 2 Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa visi organisasi dari ALIANSI PETANI INDONESIA (API) adalah terwujudnya masyarakat petani yang adil, makmur dan sejahtera.
Pasal 3 anggaran dasarnya menyebutkan : untuk mencapai visi dalam Pasal 2 di atas ALIANSI PETANI INDONESIA memperjuangkan :
1. Melakukan pemberdayaan melalui pendidikan dan penguatan ekonomi, politik, sosial dan budaya bagi petani;
2. Memperjuangkan sistim pemilikan lahan yang adil terhadap petani;
3. Memperjuangkan perlindungan hukum terhadap ketersediaan sarana produksi bagi kaum tani;
4. Mempersatukan berbagai serikat tani di seluruh wilayah Indonesia
Dari uraian penjelasan di atas terlihat, bahwasanya para pemohon, dalam mencapai maksud dan tujuannya telah melakukan berbagai macam usaha (kegiatan) yang dilakukan secara terus menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya tersebut, hal mana telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten)
Dan berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka jelaslah bahwa Para Pemohon, mempunyai kedudukan hukum dan dasar kepentingan untuk mewakili kepentingan umum (publik) dalam mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman karena mengandung muatan yang bertentangan dengan UUD 1945
Penutup
Apa yang Harus Dilakukan:
1. Menentukan Sikap Sejarah dan Sikap Politik Petani Atas Benih
2. Membangun Gerakan Kedaulatan Petani atas Benih
3. Memanfaatkan Peluang Hukum
4. Pembaruan Hukum
5. Pemajuan dan Pembelaan (termasuk pemantauan) Hak Petani
0 komentar