Aliansi Petani Indonesia yang didirikan oleh organisasi petani tingkat kabupaten pada tahun 2001 dan merupakan perkumpulan yang berbentuk aliansi dimana salah satu agenda pokok dalam program utama organisasi adalah pengembangan pertanian yang ramah lingkungan. Meskipun disadari bahwa penerapan sistem pertanian berkelanjutan memiliki keberagaman metode pendekatan dikarenakan perbedaan topografi, budaya dan komoditas tanaman yang dikembangkan.
Sebagai contoh dalam perbedaan topografi, antara dataran tinggi lahan kering (up land) dan dataran rendah (low land) dengan irigasi tehnis persawahan atau dataran rendah lahan kering tadah hujan. Karakteristik alam tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan dalam hal sistem budidaya tanaman yang dikembangkan dengan pilihan tanaman yang beraneka ragam (tumpangsari) dengan tujuan utamanya untuk memulihkan kondisi tanah secara fisik dan kimiawi.
Dengan memahami perbedaan karakteristik wilayah, identitas budaya dikalangan masyarakat petani dan pedesaan dan ketersediaan sumberdaya ditingkat lokal baik pengetahuan (indigenous knowledge) maupun keragaman sumberdaya hayati. Strategi pendekatan yang dikembangkan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan diantara anggota API adalah dengan kombinasi yang menggunakan praktek-praktek pertanian alami dengan pengetahuan baru namun mudah diaplikasikan.
Sebagai mata program dan lebih lanjut adalah agenda petani (khususnya anggota API) di masa depan bahwa pertanian alami yang dikembangkan lebih pada peningkatan kapasitas organisasi tani melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan pada titik tekan proses nalar pikir petani dengan metode pendekatan participatory action research, karena petani tidak memiliki kelembagaan formal seperti sekolah dengan gurunya. Selama ini, petani hanya memiliki fasilitator dari pemerintah dan lembaga NGO.
Proses pendidikan pertanian alami memberikan jaminan dan kepastian tentang apa yang dimaksud dengan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman menunjukkan bahwa praktek-praktek pertanian alami yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulteng dimana proses penyebar luasan tehnologi bertani secara alami dan organik akan berhasil jika dimulai di tingkatan petani, sehingga pada gilirannya, model bertani secara alami memiliki artikulasi yang penting tentang apa yang dimaksud dengan media pendidikan horisontal, dimana dalam proses yang berlangsung memiliki perbedaan dengan model pertanian ala revolusi hijau dimana tenaga ahli yang didatangkan dari luar, baik tenaga ahli tehnis budidaya tanaman dan tenaga ahli tehnologi pertanian.
Alur pendidikan pertanian alami yang berbasis konteks sumberdaya lokal sebenarnya akan berkontribusi terhadap akses atau peluang yang luas bagi kelompok-kelompok petani untuk menjadi pintar dan cerdas. Sebagai rujukan, pengalaman petani di lahan kering di Bali Barat, bagian selatan Jawa Timur, pertanian alami yang di praktekkan merupakan hasil kombinasi antara tehnologi pertanian yang terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya. Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.
Dalam proses pembelajaran tentang sistem pertanian alami, faktor penting yang perlu ditekankan bahwa muatan pertanian alami sesungguhnya mengandalkan pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan limbah pertanian alami, kotoran ternak, maka nilai-nilai kearifan lokal (wisdom) terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan menjadi bahan dan sumber dialog ditingkatan petani (horisontal) dan sekaligus menjadi cara pandang dalam sistem pertanian secara alami. Dengan demikian, sekaligus untuk menjawab keikut sertaan dari apa yang dilakukan oleh pihak luar sebatas diperlukan jika petani hanya memerlukan jawaban atas masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan persoalan-persoalan praktis di lapangan dan peran dari pihak luar hanya untuk memfasilitasi dengan pihak lain.
Hubungan sosial dalam pertanian alami menekankan pada tanggung jawab sosial manusia terhadap alam dan menjamin keberlangsungan ekologi sehingga generasi mendatang dapat menikmati keberlanjutannya terhadap akses benih, air dan hak atas tanah yang subur. Dengan demikian, proses pengembangan pertanian alami dalam konteks sosial mengarah kepada apa yang terjadi dalam perubahan sosial di pedesaan dalam konsepsi budaya. Artinya bahwa introduksi pertanian alami ditingkat petani secara sosial mempengaruhi perubahan budaya yang ditandai dengan adanya perubahan terhadap nilai-nilai hidup komunitas (kosmologi dan antropo sentris).
Perubahan budaya seperti apa yang dijelaskan diatas untuk menjawab isu-isu mendasar di pedesaan, seperti demokratisasi, gender, relasi patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya. (Franciscus Wahono).
Pertanian Alami Menjawab Kerusakan Ekologi dan Kerentanan Pangan
Kegiatan pertanian alami sebagaimana kegiatan pertanian pada umumnya adalah kegiatan dimana kegiatan produksi mulai penataan dan pengolahan lahan, penataan produksi dan memperbaiki saluran distribusi hingga pada konsumsi, bukan saja untuk memperbanyak makanan sampai berkelimpahan, tetapi yang lebih penting dalam kegiatan pertanian alami adalah faktor ketuhanan, manusia, alam, dan teknologi.
Pemahaman diatas, pada dasarnya terkandung suatu tujuan, yakni berupa kemakmuran masyarakat, dimana titik tekan pada kelangsungan hidup petani. Makna tersebut mengandung arti pentingnya kesadaran baru terhadap keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, dan alam sekitarnya.
Aspek penting dalam kekuatan pertanian alami sebagaimana dijelaskan diatas, adalah kekuatan dalam hal mempengaruhi pola berfikir dan sikap hidup petani dalam hal memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi, distribusi dan konsumsi. Dimana keseluruhan proses tersebut sebagai dasar dalam mempertimbangkan untuk keberlangsungan hidup masa kini dan yang akan datang.
Dalam pengambilan keputusan ditingkat rumah tangga petani dan kelompok-kelompok tani, salah satu aspek pertimbangan untuk menentukan dan memutuskan bagaimana memilih, mengelola dan mengalokasikan sumber daya, tidak lagi didasarkan pada segi-segi praktis berkenaan dengan tingkat harga dan kecukupan akan ketersediaan barang di pasaran, namun hal tersebut memperluas perspektif dan memiliki kekuatan untuk memperpanjang daur energi. Dapat dipahami kemudian, kekhawatiran akan kelangkaan sumberdaya dengan sendirinya dapat diatasi dan terpenting bahwa petani tidak tercerabut dari tradisi dan akar budayanya dalam kegiatan pertanian.
Sebagaimana pengalaman kelompok-kelompok tani di desa Kalibatur, Kab. Tulungagung, penanaman padi pandan wangi (salah satu jenis padi lokal unggul) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas 750m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan mikroba I sampai III, dengan benih sekitar 10 kg, menghasilkan gabah kering sebanyak 450 kg. Pengalaman pertanian dengan penggunaan asupan kimia sangat rendah ini ternyata sangat berbeda dibandingkan dengan pola pertanian yang menggunakan asupan luar seperti pupuk dan pestisida kimia. Dengan jumlah benih relatif sama hanya mampu berproduksi menghasilkan gabah kering 250 kg.
Disamping itu, gabah kering hasil panen yang diperoleh selanjutnya dibagi-bagi ke anggota organisasi tani maupun tetangga yang berminat dengan mekanisme apa yang disebut dengan tukar menukar benih (ijol). Maksudnya, jika gabah panen tersebut ditanam kembali, kelak pada saat panen mereka juga akan membagikan kepada tetangga sejumlah benih yang dipinjam pada saat tanam. Proses interaksi budaya pertanian seperti ini merupakan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh petani meskipun usaha tersebut berhadapan dengan sikap hidup pragmatisme atau komersialisasi pedesaan dengan nilai-nilai hidup yang di ukur serba uang.
Proses tukar menukar benih yang baik tersebut perlahan akan membentuk lumbung benih petani. Dari konsep itu akan teridentifikasi siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan demikian seterusnya. Pada giliranya, ditingkat petani dan desa akan ada jaminan akan ketersediaan benih yang beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggung-jawab kolektif (komunitas), seperti halnya dalam penggunaan air.
Dengan demikian, sistem pertanian alami akan menghasilkan lumbung benih komunitas, dan berbeda dengan cara kerja Dolog karena bersifat material seperti adanya pergudangan yang membutuhkan lahan dan hal-hal administrasi lainya yang akan berdampak terhadap besaran biaya untuk mengoperasionalkan sementara itu tujuannya hanya menempatkan gabah panenan. Lumbung benih konsep petani dengan sistem pertanian alami, justru ditanam dan selanjutnya akan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha bersama yang berwatak kolektif dan bersifat pengetahuan empiris dan kelak jika proses tersebut tidak mendapat gangguan yang cukup nyata dari luar, terjadi proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Hal lain yang ingin diungkapkan, petani dan komunitas pedesaan lainnya turut memperoleh keuntungan ekologis karena akan dihasilkan varietas yang stabil produksinya, sekaligus memastikan bahwa varietas tersebut tidak akan hilang dan punah dikarenakan kerusakan fisik, kimia, perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai.
Sistem pertanian alami yang dikembangkan di tingkat petani dan komunitasnya dalam perspektif ekologi sosial mempunyai fungsi sosial yang lebih strategis dalam hal membangun kerangka kerja yang mendukung proses bersama dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan demikian, kesanggupan dan ketrampilan cara pertanian alami terbentuk pola aling mendukung antar pelaku dikalangan masyarakat pedesaan dan pada tujuan akhirnya lingkungan hayati tempat semua proses berlangsung menjamin keberlangsungan produksi, ketersediaan produksi dan sumber energi yang terbarukan sekaligus menjamin akses konsumsi pangan yang bermutu dan sehat.
( Dinarasikan dari FGD dan wawancara mendalam di beberapa tempat di anggota API yang menerapkan sistem pertanian alami model Natural Farming di wilayah Malang Selatan (Kopi), Jombang dan Tulungagung (Padi) dan Bali Barat (Buleleng dan Jembrana) dan Sumbawa Besar
Sebagai contoh dalam perbedaan topografi, antara dataran tinggi lahan kering (up land) dan dataran rendah (low land) dengan irigasi tehnis persawahan atau dataran rendah lahan kering tadah hujan. Karakteristik alam tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan dalam hal sistem budidaya tanaman yang dikembangkan dengan pilihan tanaman yang beraneka ragam (tumpangsari) dengan tujuan utamanya untuk memulihkan kondisi tanah secara fisik dan kimiawi.
Dengan memahami perbedaan karakteristik wilayah, identitas budaya dikalangan masyarakat petani dan pedesaan dan ketersediaan sumberdaya ditingkat lokal baik pengetahuan (indigenous knowledge) maupun keragaman sumberdaya hayati. Strategi pendekatan yang dikembangkan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan diantara anggota API adalah dengan kombinasi yang menggunakan praktek-praktek pertanian alami dengan pengetahuan baru namun mudah diaplikasikan.
Sebagai mata program dan lebih lanjut adalah agenda petani (khususnya anggota API) di masa depan bahwa pertanian alami yang dikembangkan lebih pada peningkatan kapasitas organisasi tani melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan pada titik tekan proses nalar pikir petani dengan metode pendekatan participatory action research, karena petani tidak memiliki kelembagaan formal seperti sekolah dengan gurunya. Selama ini, petani hanya memiliki fasilitator dari pemerintah dan lembaga NGO.
Proses pendidikan pertanian alami memberikan jaminan dan kepastian tentang apa yang dimaksud dengan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman menunjukkan bahwa praktek-praktek pertanian alami yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulteng dimana proses penyebar luasan tehnologi bertani secara alami dan organik akan berhasil jika dimulai di tingkatan petani, sehingga pada gilirannya, model bertani secara alami memiliki artikulasi yang penting tentang apa yang dimaksud dengan media pendidikan horisontal, dimana dalam proses yang berlangsung memiliki perbedaan dengan model pertanian ala revolusi hijau dimana tenaga ahli yang didatangkan dari luar, baik tenaga ahli tehnis budidaya tanaman dan tenaga ahli tehnologi pertanian.
Alur pendidikan pertanian alami yang berbasis konteks sumberdaya lokal sebenarnya akan berkontribusi terhadap akses atau peluang yang luas bagi kelompok-kelompok petani untuk menjadi pintar dan cerdas. Sebagai rujukan, pengalaman petani di lahan kering di Bali Barat, bagian selatan Jawa Timur, pertanian alami yang di praktekkan merupakan hasil kombinasi antara tehnologi pertanian yang terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya. Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.
Dalam proses pembelajaran tentang sistem pertanian alami, faktor penting yang perlu ditekankan bahwa muatan pertanian alami sesungguhnya mengandalkan pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan limbah pertanian alami, kotoran ternak, maka nilai-nilai kearifan lokal (wisdom) terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan menjadi bahan dan sumber dialog ditingkatan petani (horisontal) dan sekaligus menjadi cara pandang dalam sistem pertanian secara alami. Dengan demikian, sekaligus untuk menjawab keikut sertaan dari apa yang dilakukan oleh pihak luar sebatas diperlukan jika petani hanya memerlukan jawaban atas masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan persoalan-persoalan praktis di lapangan dan peran dari pihak luar hanya untuk memfasilitasi dengan pihak lain.
Hubungan sosial dalam pertanian alami menekankan pada tanggung jawab sosial manusia terhadap alam dan menjamin keberlangsungan ekologi sehingga generasi mendatang dapat menikmati keberlanjutannya terhadap akses benih, air dan hak atas tanah yang subur. Dengan demikian, proses pengembangan pertanian alami dalam konteks sosial mengarah kepada apa yang terjadi dalam perubahan sosial di pedesaan dalam konsepsi budaya. Artinya bahwa introduksi pertanian alami ditingkat petani secara sosial mempengaruhi perubahan budaya yang ditandai dengan adanya perubahan terhadap nilai-nilai hidup komunitas (kosmologi dan antropo sentris).
Perubahan budaya seperti apa yang dijelaskan diatas untuk menjawab isu-isu mendasar di pedesaan, seperti demokratisasi, gender, relasi patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya. (Franciscus Wahono).
Pertanian Alami Menjawab Kerusakan Ekologi dan Kerentanan Pangan
Kegiatan pertanian alami sebagaimana kegiatan pertanian pada umumnya adalah kegiatan dimana kegiatan produksi mulai penataan dan pengolahan lahan, penataan produksi dan memperbaiki saluran distribusi hingga pada konsumsi, bukan saja untuk memperbanyak makanan sampai berkelimpahan, tetapi yang lebih penting dalam kegiatan pertanian alami adalah faktor ketuhanan, manusia, alam, dan teknologi.
Pemahaman diatas, pada dasarnya terkandung suatu tujuan, yakni berupa kemakmuran masyarakat, dimana titik tekan pada kelangsungan hidup petani. Makna tersebut mengandung arti pentingnya kesadaran baru terhadap keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, dan alam sekitarnya.
Aspek penting dalam kekuatan pertanian alami sebagaimana dijelaskan diatas, adalah kekuatan dalam hal mempengaruhi pola berfikir dan sikap hidup petani dalam hal memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi, distribusi dan konsumsi. Dimana keseluruhan proses tersebut sebagai dasar dalam mempertimbangkan untuk keberlangsungan hidup masa kini dan yang akan datang.
Dalam pengambilan keputusan ditingkat rumah tangga petani dan kelompok-kelompok tani, salah satu aspek pertimbangan untuk menentukan dan memutuskan bagaimana memilih, mengelola dan mengalokasikan sumber daya, tidak lagi didasarkan pada segi-segi praktis berkenaan dengan tingkat harga dan kecukupan akan ketersediaan barang di pasaran, namun hal tersebut memperluas perspektif dan memiliki kekuatan untuk memperpanjang daur energi. Dapat dipahami kemudian, kekhawatiran akan kelangkaan sumberdaya dengan sendirinya dapat diatasi dan terpenting bahwa petani tidak tercerabut dari tradisi dan akar budayanya dalam kegiatan pertanian.
Sebagaimana pengalaman kelompok-kelompok tani di desa Kalibatur, Kab. Tulungagung, penanaman padi pandan wangi (salah satu jenis padi lokal unggul) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas 750m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan mikroba I sampai III, dengan benih sekitar 10 kg, menghasilkan gabah kering sebanyak 450 kg. Pengalaman pertanian dengan penggunaan asupan kimia sangat rendah ini ternyata sangat berbeda dibandingkan dengan pola pertanian yang menggunakan asupan luar seperti pupuk dan pestisida kimia. Dengan jumlah benih relatif sama hanya mampu berproduksi menghasilkan gabah kering 250 kg.
Disamping itu, gabah kering hasil panen yang diperoleh selanjutnya dibagi-bagi ke anggota organisasi tani maupun tetangga yang berminat dengan mekanisme apa yang disebut dengan tukar menukar benih (ijol). Maksudnya, jika gabah panen tersebut ditanam kembali, kelak pada saat panen mereka juga akan membagikan kepada tetangga sejumlah benih yang dipinjam pada saat tanam. Proses interaksi budaya pertanian seperti ini merupakan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh petani meskipun usaha tersebut berhadapan dengan sikap hidup pragmatisme atau komersialisasi pedesaan dengan nilai-nilai hidup yang di ukur serba uang.
Proses tukar menukar benih yang baik tersebut perlahan akan membentuk lumbung benih petani. Dari konsep itu akan teridentifikasi siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan demikian seterusnya. Pada giliranya, ditingkat petani dan desa akan ada jaminan akan ketersediaan benih yang beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggung-jawab kolektif (komunitas), seperti halnya dalam penggunaan air.
Dengan demikian, sistem pertanian alami akan menghasilkan lumbung benih komunitas, dan berbeda dengan cara kerja Dolog karena bersifat material seperti adanya pergudangan yang membutuhkan lahan dan hal-hal administrasi lainya yang akan berdampak terhadap besaran biaya untuk mengoperasionalkan sementara itu tujuannya hanya menempatkan gabah panenan. Lumbung benih konsep petani dengan sistem pertanian alami, justru ditanam dan selanjutnya akan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha bersama yang berwatak kolektif dan bersifat pengetahuan empiris dan kelak jika proses tersebut tidak mendapat gangguan yang cukup nyata dari luar, terjadi proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Hal lain yang ingin diungkapkan, petani dan komunitas pedesaan lainnya turut memperoleh keuntungan ekologis karena akan dihasilkan varietas yang stabil produksinya, sekaligus memastikan bahwa varietas tersebut tidak akan hilang dan punah dikarenakan kerusakan fisik, kimia, perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai.
Sistem pertanian alami yang dikembangkan di tingkat petani dan komunitasnya dalam perspektif ekologi sosial mempunyai fungsi sosial yang lebih strategis dalam hal membangun kerangka kerja yang mendukung proses bersama dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan demikian, kesanggupan dan ketrampilan cara pertanian alami terbentuk pola aling mendukung antar pelaku dikalangan masyarakat pedesaan dan pada tujuan akhirnya lingkungan hayati tempat semua proses berlangsung menjamin keberlangsungan produksi, ketersediaan produksi dan sumber energi yang terbarukan sekaligus menjamin akses konsumsi pangan yang bermutu dan sehat.
( Dinarasikan dari FGD dan wawancara mendalam di beberapa tempat di anggota API yang menerapkan sistem pertanian alami model Natural Farming di wilayah Malang Selatan (Kopi), Jombang dan Tulungagung (Padi) dan Bali Barat (Buleleng dan Jembrana) dan Sumbawa Besar
Penulis dan Pewancara : Muhammad Nuruddin
Terima kasih infonya
salam sukses
http://gunung-air.com/