Kurang dari dua tahun lalu pemerintah pusat Indonesia meluncurkan program padi hibrida. Rencananya adalah untuk mengubah lebih dari 135,000 ha lahan padi primer ke produksi padi hibrida dengan menawarkan benih gratis kepada petani, dimana pemerintah sendiri membelinya dari perusahaan benih swasta. Ini adalah perjanjian penting bagi perusahaan swasta tersebut, terutama yang memiliki hubungan politik untuk mengaksesnya –orang seperti Tommy Winata, taipan lokal yang baru saja melakukan joint venture dengan pabrik benih padi hibrida asal Cina.
Bagi petani Indonesia ceritanya berbeda. Bulan October 2007, musim pertama penanaman padi hibrida digalakkan, para petani yang tergabung dalam rencana tersebut mengalami berbagai masalah serius, bahkan mengalami gagal panen. Beberapa membakar lahan mereka sebagai tanda kekecewaan.
"Kita seperti dalam taruhan pemerintah dalam ujicoba varietas ini," ucap seorang petani dari desa Dusun Karang Duwet, sekitar 25 km arah selatan Yogyakarta, Jawa Tengah.
Pada 2008, pemerintah memperluas jangkauang programnya dan perusahaan benih memacu produksinya. Bulan July di tahun yang sama, GRAIN dan Biotani bertemu beberapa kelompok petani lokal dan peneliti di Jawa Tengah untuk melihat bagaimana petani mengerjakan lahannya menggunakan benih padi hibrida. Seperti yang kami takutkan sebelumnya, banyak kejadian tak terduga dialami petani menggunakan benih hibrida dengan akibat yang memprihatinkan.
Salah satu cara pemerintah memperkenalkan padi hibrida adalah melalui Sekolah Lapang –sekolah lapangan bagi petani yang dikembangkan beberapa tahun lalu untuk membantu praktek penganganan hama terpadu dan memberikan pengetahuan dan inovasi bagi petani di pedesaan. Dari 36 petani, seorang petani dari perkumpulan Samben (Desa Argomulyo, Sedayu) di sekolah ini diminta oleh pejabat lokal untuk menyerahkan sukarela lahannya untuk ujicoba padi hibrida. Pemerintah menawari mereka benih gratis untuk ujicoba dari varietas yang bernama Intani-2, yang dijual oleh PT Bisi, anak perusahaan multinasional Thailand Charoen Pokphand. Tergoda oleh tawaran benih gratis dan janji perusahaan bahwa varietas in akan menghasilkan 13 ton/ha, petani tersebut setuju untuk menyerahkan 5 ha dari total 16 ha digunakan sekolah sebagai bahan percobaan.
Di bulan Juli, kita berbincang dengan Jakiman, kepala sekolah lapangan petani. Saat itu, ia mengatakan bahwa tanaman berkembang dengan baik dan sejauh ini hanya sedikit masalah pada hama dan penyakit tanaman. Masa panen, bagaimanapun juga, berbuah kekecewaan. Menurut Jakiman, hasil panen menghasilkan 9.6 ton/ha. Selain itu hanya mengalami kerusakan pada batang tanaman, serangan hama dan penyakit memang rendah pada musim itu dan terdapat kesepahaman di kalangan petani lokal bahwa padi hibrida justru mudah terkena hama dan penyakit. Para petani juga terusik kala tidak bisa menyimpan benih padi hibrida dan tingginya biaya benih Intani-2 --50,000 Rp/kg dibanding 6,000 Rp/kg untuk benih biasa IR-64. Percobaan yang disubsidi tersebut tidak meyakinkan mereka meneruskan menanam dengan padi hibrida. Musim tanam selanjutnya mereka akan kembali ke IR-64.
Lahan tanam lainnya di luar Yogyakarta, kami bertemu petani yang menanam varietas benih padi hibrida Pioneer/DuPont untuk 1.5 ha, di dusun kecil Mingas Baru, Kabupaten Klaten. Lahannya rusak parah. Ini adalah tahun pertamanya ia menanam padi hibrida dan ia berujar benihnya rusak oleh hama dan penyakit, walaupun begitu ia dipaksa untuk menanam beberapa kembali di sebagian lahannya dan mengeluarkan banyak lagi untuk membeli benih. Masalah utamanya adalah serangga hitam. Ia mencoba menggunakan insektisida Furadan melawannya, dan ketika tidak mempan ia mencoba pestisida yang lebih mahal lagi. Namun tidak mempan juga.
Ia mengatakan bahwa perusahaan memberitahukannya ia dapat menghasilkan antara 13-15 ton/ha –dua kali lipat penghasilan normalnya. Inilah mengapa ia lantas membelinya, bahkan untuk harga 45,000 Rp/kg. Hal ini merupakan kejadian pertama selama 12 tahun sejak ia mengalami masalah hama dan penyakit. Pertama kali juga ia mengalami gagal panen. Ia beralasan, ini adalah terakhir kalinya ia menanam padi hibrida.
Laporan kegagalan padi hibrida juga datang dari penjuru ain negeri ini. Abdullah Kamil adalah seorang pengatur kelompok yang telah bekerja dengan komunitas Kabupaten Kediri dan Nganjuk di jawa Timur sejak awal 1990-an, tepat sejak ia mengerjakan bergerilya bawah tanah demi menjatuhkan Suharto. Ia berkata bahwa petani di kedua kebupaten itu mulai menanam benih padi hibrida. Selama musim terakhir, mulai Januari dan berakhir April, 4,000 ha telah ditanam padi hibrida di Kediri dan 6,000 ha ditanam di Nganjuk. Benih tersebut diberikan gratis kepada petani, baik melalui perpanjangan program pemerintah atau oleh kandidat dari partai politik yang bersaing di pemilihan Bupati Mei lalu. 40 persen panen padi hibrida gagal dan padinya menjadi ringan dan agak masak, seperti dimasak di "air mendidih"—terlihat seperti kapur dan pecah-pecah.
Kegagalan padi hibrida bukanlah kejutan buat peneliti padi terkemuka Indonesia, Prof. Dr. Kasumbogo Untung, entemologis Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang sedang membangun pengembangan sekolah lapangan petani. Ia menjelaskan bahwa ia dan rekan-rekannya telah familiar dengan masalah padi hibrida, terkhusus masalah mudah terkenanya hama dan penyakit. Kenyataannya, lanjutnya, ia sering menggunakan padi hibrida karena hanya varietas itu yang dapat memberikan contoh langsung tentang hama dan penyakit kepada mahasiswa, yang di Indonesia, hanya terlihat dalam teks-teks buku. Sekarang ia mencemaskan produksi skala besar dari padi hibrida akan membawa kebangkitan hama, seperti hama belalang. Dr. Kasumbogo sangat menyesalkan pemerintah mempromosikan padi hibrida yang justru berakibat terbalik dengan sistem pengendalian hama terpadu mereka dan menambah ongkos bagi petani untuk meningkatkan penggunaan pestisida dan pupuk kimia.
"Padi hibrida itu varietas mewah yang butuh perhatian lebih dari merawat bayi," kata Dr. Kasumbogo.
Salah satu perhatian Dr. Kasumbogo's adalah penekanan padi hibrida justru terjadi di dasari pelajaran sekolah lapangan petani. Sekolah seperti ini seharusnya menggunakan pendekatan bawah-atas dengan membagi pengalaman benih dan pengetahuan lokal petani untuk meningkatkan pertanian mereka. Dengan penetrasi padi hibrid, pemerintah menggunakan insentif dan bahkan anjuran langsung bagi petani menanam padi hibrida yang dipromosikan perusahaan benih swasta. Ini adalah proses atas-bawah, proses yang tidak menguatkan petani.
Sementara itu di Jawa Tengah, kami bertemu NGO lokal yang membantu petani bergerak menjauhi skema padi hibrida. Sekretariat Pelayanan Tani-Nelayan (SPTN) bekerja dengan sekitar 2,000 petani yang tergabung di pertanian organik (non-sertifikasi). Salah satu petani di kelompok itu adalah Sri Rejki, tinggal di Desa Kanoman. Sri Rejki hanya menanam varietas lokal dan mengikuti praktek penanaman organik. Mereka berhasil meyakinkan banyak petani lain kembali menanam varietas lokal. Sebelum kunjungan kami, beberapa pejabat lokal mengadakan pertemuan malam dan mengajukan mereka untuk mendedikasikan 30 ha lahan mereka (pada dasarnya semuanya) sebagai lahan ujicoba varietas hibrida, yang disebut Supertoy HL-2, dengan penyediaan gratis dari pemerintah. Para petani tidak tertarik dengan tawaran itu, dan itu hal baik juga. Kelompok tetangga yang beranggota lebih dari 400 petani yang mengambil tawaran itu menderita gagal panen. Hanya setelah memprotes dan mengancam untuk menggugat, perusahaan akhirnya setuju membayar ganti rugi kerugian petani.
Petani Sri Rejki memperlihatkan contoh kuat bagaimana petani dapat mengorganisir dirinya sendiri untuk meningkatkan kebutuhan hidupnya. Namun akan bertambah sulit bagi petani seluruh Indonesia untuk melepaskan diri dari perangkap yang ditabur pemerintah dan perusahaan benih swasta, yang kadang berujung kongkalikong.
(Untuk analisis yang lebih detail mengenai promosi pemerintah Indonesia terhadap padi hibrida, lihat Hybrid Rice, Indonesia: State subsidising corporates, oleh Riza Tjahjadi.)
oleh Biotani and GRAIN
http://www.grain.org/hybridrice/?lid=213
Bagi petani Indonesia ceritanya berbeda. Bulan October 2007, musim pertama penanaman padi hibrida digalakkan, para petani yang tergabung dalam rencana tersebut mengalami berbagai masalah serius, bahkan mengalami gagal panen. Beberapa membakar lahan mereka sebagai tanda kekecewaan.
"Kita seperti dalam taruhan pemerintah dalam ujicoba varietas ini," ucap seorang petani dari desa Dusun Karang Duwet, sekitar 25 km arah selatan Yogyakarta, Jawa Tengah.
Pada 2008, pemerintah memperluas jangkauang programnya dan perusahaan benih memacu produksinya. Bulan July di tahun yang sama, GRAIN dan Biotani bertemu beberapa kelompok petani lokal dan peneliti di Jawa Tengah untuk melihat bagaimana petani mengerjakan lahannya menggunakan benih padi hibrida. Seperti yang kami takutkan sebelumnya, banyak kejadian tak terduga dialami petani menggunakan benih hibrida dengan akibat yang memprihatinkan.
Salah satu cara pemerintah memperkenalkan padi hibrida adalah melalui Sekolah Lapang –sekolah lapangan bagi petani yang dikembangkan beberapa tahun lalu untuk membantu praktek penganganan hama terpadu dan memberikan pengetahuan dan inovasi bagi petani di pedesaan. Dari 36 petani, seorang petani dari perkumpulan Samben (Desa Argomulyo, Sedayu) di sekolah ini diminta oleh pejabat lokal untuk menyerahkan sukarela lahannya untuk ujicoba padi hibrida. Pemerintah menawari mereka benih gratis untuk ujicoba dari varietas yang bernama Intani-2, yang dijual oleh PT Bisi, anak perusahaan multinasional Thailand Charoen Pokphand. Tergoda oleh tawaran benih gratis dan janji perusahaan bahwa varietas in akan menghasilkan 13 ton/ha, petani tersebut setuju untuk menyerahkan 5 ha dari total 16 ha digunakan sekolah sebagai bahan percobaan.
Di bulan Juli, kita berbincang dengan Jakiman, kepala sekolah lapangan petani. Saat itu, ia mengatakan bahwa tanaman berkembang dengan baik dan sejauh ini hanya sedikit masalah pada hama dan penyakit tanaman. Masa panen, bagaimanapun juga, berbuah kekecewaan. Menurut Jakiman, hasil panen menghasilkan 9.6 ton/ha. Selain itu hanya mengalami kerusakan pada batang tanaman, serangan hama dan penyakit memang rendah pada musim itu dan terdapat kesepahaman di kalangan petani lokal bahwa padi hibrida justru mudah terkena hama dan penyakit. Para petani juga terusik kala tidak bisa menyimpan benih padi hibrida dan tingginya biaya benih Intani-2 --50,000 Rp/kg dibanding 6,000 Rp/kg untuk benih biasa IR-64. Percobaan yang disubsidi tersebut tidak meyakinkan mereka meneruskan menanam dengan padi hibrida. Musim tanam selanjutnya mereka akan kembali ke IR-64.
Lahan tanam lainnya di luar Yogyakarta, kami bertemu petani yang menanam varietas benih padi hibrida Pioneer/DuPont untuk 1.5 ha, di dusun kecil Mingas Baru, Kabupaten Klaten. Lahannya rusak parah. Ini adalah tahun pertamanya ia menanam padi hibrida dan ia berujar benihnya rusak oleh hama dan penyakit, walaupun begitu ia dipaksa untuk menanam beberapa kembali di sebagian lahannya dan mengeluarkan banyak lagi untuk membeli benih. Masalah utamanya adalah serangga hitam. Ia mencoba menggunakan insektisida Furadan melawannya, dan ketika tidak mempan ia mencoba pestisida yang lebih mahal lagi. Namun tidak mempan juga.
Ia mengatakan bahwa perusahaan memberitahukannya ia dapat menghasilkan antara 13-15 ton/ha –dua kali lipat penghasilan normalnya. Inilah mengapa ia lantas membelinya, bahkan untuk harga 45,000 Rp/kg. Hal ini merupakan kejadian pertama selama 12 tahun sejak ia mengalami masalah hama dan penyakit. Pertama kali juga ia mengalami gagal panen. Ia beralasan, ini adalah terakhir kalinya ia menanam padi hibrida.
Laporan kegagalan padi hibrida juga datang dari penjuru ain negeri ini. Abdullah Kamil adalah seorang pengatur kelompok yang telah bekerja dengan komunitas Kabupaten Kediri dan Nganjuk di jawa Timur sejak awal 1990-an, tepat sejak ia mengerjakan bergerilya bawah tanah demi menjatuhkan Suharto. Ia berkata bahwa petani di kedua kebupaten itu mulai menanam benih padi hibrida. Selama musim terakhir, mulai Januari dan berakhir April, 4,000 ha telah ditanam padi hibrida di Kediri dan 6,000 ha ditanam di Nganjuk. Benih tersebut diberikan gratis kepada petani, baik melalui perpanjangan program pemerintah atau oleh kandidat dari partai politik yang bersaing di pemilihan Bupati Mei lalu. 40 persen panen padi hibrida gagal dan padinya menjadi ringan dan agak masak, seperti dimasak di "air mendidih"—terlihat seperti kapur dan pecah-pecah.
Kegagalan padi hibrida bukanlah kejutan buat peneliti padi terkemuka Indonesia, Prof. Dr. Kasumbogo Untung, entemologis Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang sedang membangun pengembangan sekolah lapangan petani. Ia menjelaskan bahwa ia dan rekan-rekannya telah familiar dengan masalah padi hibrida, terkhusus masalah mudah terkenanya hama dan penyakit. Kenyataannya, lanjutnya, ia sering menggunakan padi hibrida karena hanya varietas itu yang dapat memberikan contoh langsung tentang hama dan penyakit kepada mahasiswa, yang di Indonesia, hanya terlihat dalam teks-teks buku. Sekarang ia mencemaskan produksi skala besar dari padi hibrida akan membawa kebangkitan hama, seperti hama belalang. Dr. Kasumbogo sangat menyesalkan pemerintah mempromosikan padi hibrida yang justru berakibat terbalik dengan sistem pengendalian hama terpadu mereka dan menambah ongkos bagi petani untuk meningkatkan penggunaan pestisida dan pupuk kimia.
"Padi hibrida itu varietas mewah yang butuh perhatian lebih dari merawat bayi," kata Dr. Kasumbogo.
Salah satu perhatian Dr. Kasumbogo's adalah penekanan padi hibrida justru terjadi di dasari pelajaran sekolah lapangan petani. Sekolah seperti ini seharusnya menggunakan pendekatan bawah-atas dengan membagi pengalaman benih dan pengetahuan lokal petani untuk meningkatkan pertanian mereka. Dengan penetrasi padi hibrid, pemerintah menggunakan insentif dan bahkan anjuran langsung bagi petani menanam padi hibrida yang dipromosikan perusahaan benih swasta. Ini adalah proses atas-bawah, proses yang tidak menguatkan petani.
Sementara itu di Jawa Tengah, kami bertemu NGO lokal yang membantu petani bergerak menjauhi skema padi hibrida. Sekretariat Pelayanan Tani-Nelayan (SPTN) bekerja dengan sekitar 2,000 petani yang tergabung di pertanian organik (non-sertifikasi). Salah satu petani di kelompok itu adalah Sri Rejki, tinggal di Desa Kanoman. Sri Rejki hanya menanam varietas lokal dan mengikuti praktek penanaman organik. Mereka berhasil meyakinkan banyak petani lain kembali menanam varietas lokal. Sebelum kunjungan kami, beberapa pejabat lokal mengadakan pertemuan malam dan mengajukan mereka untuk mendedikasikan 30 ha lahan mereka (pada dasarnya semuanya) sebagai lahan ujicoba varietas hibrida, yang disebut Supertoy HL-2, dengan penyediaan gratis dari pemerintah. Para petani tidak tertarik dengan tawaran itu, dan itu hal baik juga. Kelompok tetangga yang beranggota lebih dari 400 petani yang mengambil tawaran itu menderita gagal panen. Hanya setelah memprotes dan mengancam untuk menggugat, perusahaan akhirnya setuju membayar ganti rugi kerugian petani.
Petani Sri Rejki memperlihatkan contoh kuat bagaimana petani dapat mengorganisir dirinya sendiri untuk meningkatkan kebutuhan hidupnya. Namun akan bertambah sulit bagi petani seluruh Indonesia untuk melepaskan diri dari perangkap yang ditabur pemerintah dan perusahaan benih swasta, yang kadang berujung kongkalikong.
(Untuk analisis yang lebih detail mengenai promosi pemerintah Indonesia terhadap padi hibrida, lihat Hybrid Rice, Indonesia: State subsidising corporates, oleh Riza Tjahjadi.)
oleh Biotani and GRAIN
http://www.grain.org/hybridrice/?lid=213
0 komentar