"Putaran Doha tidak akan Mencegah Krisis Pangan"
Demikian kesimpulan Pelapor Khusus PBB (UN Special Rapporteur) Prof Olivier De Schutter dalam penelitian awal dari laporan yang disusunnya mengenai pemenuhan untuk Hak atas Pangan.
Prof. De Schutter mengatakan bahwa WTO (Organisasi Perdagangan Dunia – World Trade Organisation) tidak akan mencegah krisis pangan. Karena itu dia menyerukan negara-negara anggota untuk hanya menerima keputusan-keputusan di bawah kerangka WTO yang sesuai dengan hak mereka untuk memenuhi kewajiban atas pangan.
Ahli hak azasi tersebut mengatakan bahwa negara-negara harus menentukan posisi-posisinya dalam perundingan perdagangan yang sesuai dengan strategi nasional untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya dan selalu melakukan kajian hak asasi manusia pada perjanjian-perjanjian perdagangan.
Dalam presentasinya di depan media di kantor PBB di Jenewa ketika perundingan rutin di WTO sedang dilakukan Desember lalu, ahli independen tersebut mengatakan, sampai sekarang, perjanjian perdagangan telah gagal untuk mengatasi kelaparan di dunia.
Dia menunjuk masih ada 963 juta orang yang keleparan di dunia. Jumlah itu telah bertambah sebanyak 100 juta pada tahun 2006 akibat krisis pangan global. Sebelumnya pada tahun 2005 terdapat 852 juta orang yang kelaparan.
Prof. De Schutter mengatakan saat ini ada semacam konsensus bahwa kita tidak sukses memastikan bahwa perdagangan bekerja untuk pembangunan dan bisa memerangi kemiskinan. Dia mencatat, bahwa ada semacam keyakinan “ kita belum cukup jauh berjalan, kita harus lebih banyak menghilangkan mekanisme perdagangan yang mendistorsi, menghilangkan sebagian besar subsisi dan kita harus memperbaiki akses pasar untuk negara berkembang”.
Pelapor khusus PBB juga mengkritik kebijakan pertanian yang berlangsung di negara-negara maju di OECD (organisasi negara-negara maju). "kita semua tahu, dampak yang sangat buruk terjadi di pertanian negara-negara berkembang akibat skema subsidi dan dukungan domestic di negara-negara OECD. Kita tahu ini adalah masalah serius yang harus diatasi dan masih banyaknya hambatan tariff dan non tariff yang menghalangi negara berkembang mendapatkan keuntungan dari perdagangan produk-produk mereka.
Dia menekankan bahwa implementasi yang lebih jauh dari program reformasi, “didasarkan atas ilusi bahwa dengan menghilangkan distorsi, kita akan mencapai level yang sama”.
"Itu tidak benar, kata Prof. De Schutter. Bahkan tanpa subsidi di negara-negara maju, produktivitas di negara maju dan negara berkembang, sangat berbeda, dan itu perlu menjadi perhatian”. Kecuali di negara anggota Cairns Group (kelompok negara eksportir pertanian seperti Australia dan Selandia Baru) dimana mereka telah mempersiapkan diri dan memiliki keunggulan kompetitif di pertanian.
Di tahun 2006, produktifitas tenaga kerja di negara kurang terkembang (LDCs) hanya 46 persen dari produkstifitas tenaga kerja di negara berkembang dan, kurang dari 1 persen dari negara maju.
Dalam konteks ini, ide untuk meningkatkan ‘lapangan permainan yang sama’ tidak berarti, demikian dalam ditulis dalam laporan. Ditambahkan, dengan memperdalam liberalisasi perdagangan tidak akan menjadikan petani di negara-negara berkembang dapat berkompetisi dengan level yang sama dengan negara maju, kecuali upah dan harga produk pertanian di negara-negara Selatan ditekan rendah sekali untuk mengkompensasi rendahnya produktifitas per tenaga kerja.
Inilah alasan yang menjustifikasi perlakuan berbeda dan khusus untuk negara berkembang, demikian kata Prof. De Schutter. Pesan inti yang ingin disampaikan dalam laporan Pelapor Khusus PBB adalah perdagangan bukanlah pengganti dari pengembangan kapasitas dari setiap negara untuk memberi makan populasi warganya.
Laporan tersebut berpendapat bahwa jika perdagangan bekerja untuk pembangunan dan berkontribusi pada realisasi hak atas kecukupan pangan, maka perlu untuk mengakui kekhususan masing-masing produk pertanian dan tidak menyamakan seperti komoditas lainnya. Serta, memperbolehkan fleksibilitas kepada negera –negara berkmebang, untuk melindungi produsen pertanian mereka dari kompetisi dari negara yang petaninya sudah maju. ”kita seharusnya tidak percaya bahwa perdagangan internasional akan mencapai keamanan pangan dengan cara yang berkelanjutan”, demikian dikatakan oleh De Schutter.
Laporan pelapor khusus ini mengkaji liberalisasi perdagangan di sector pertanian dari persektif hak azasi untuk mendapatkan kecukupan pangan, seperti yang diakui dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia dan Kovenan Internasional dalam Hak ekonomi, Sosial dan Kultural. Ini memiliki empat implikasi, demikian kata De Schuter:
Pertama, proses liberalisasi mengharuskan negara memerlukan strategi nasional untuk pelaksanaan hak atas pangan, dimana peran dari perdagangan harus ditentukan dengan mengacu pada hak azasi manusia dan tujuan pembangunan.
Kedua, ini juga menekankan perlunya sistem perdagangan multilateral yang kolaboratif, dan tidak memaksa komitmen negara yang bertentangan dengan kewajiban pemenuhan hak azasi, dan karenanya menekankan pentingnya negera memilliki ruang kebijakan yang cukup.
Ketiga, menurut laporan tersebut, perspektif hak untuk mendapatkan pangan, memerlukan perubahan pengukuran yang saat ini cenderung abstrak (seperti nilai pendapatan bersih brutto atau GDP) menjadi ke arah yang lebih memfokuskan pada kerentanan dan ketidaktahanan pangan.
Keempat, laporan pelapor khusus mengingatkan nilai khusus mengenai pangan yang aman, bergizi, secara budaya layak dan pangan yang berkelanjutan sebagai hak dasar bagi semua, Karenanya, dampak pada kesehatan nutrisi dan lingkungan seharusnya menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan diskusi mengenai perdagangan.
Memisahkan diskusi antara dampak perjanjian WTO dari factor faktor yang melemahkan kapasitas negara dalam mengimplementasikan kewajiban hak azasi manusia merupakan merupakan hal yang tidak mungkin, karena aturan yang diterapkan di bawah perjanjian pertanian akan memberikan dampak kombinasi di perdagangan, fiskal dan kebijakan sosial di tingkat domestik.
Laporan tersebut dihasilkan dari ahli independent yang melakukan konsultasi dari berbagai sector termasuk para dutabesar perwakilan negara-negara anggota WTO. Ini juga pertama kali WTO menerima permintaan dari Pelapor Khusus untuk melakukan misi menilai perjanjian pertanian dari perspketif hak azasi manusia.
Misi Prof. Olivier De Schutter ke WTO telah membawanya ke diskusi kontroversial seperti mekanisme pengaman khusus (special safeguard mechanisms) dan ‘kekhususan’ produk-produk pertanian yang menjadi kunci dan perdebatan dalam perundingan pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam laporan tersebut, aturan pengamanan (safeguard) dalam perdagangan pertanian adalah krusial. Negara khususnya negara berkembang sesuai dengan prinsip perlakuan khusus dan berbeda, harus mendapatkan kebebasan untuk menetapkan aturan yang melindungi pasar domestik dari kerentanan harga pasar internasional.
Meskipun hanya sekitar 15 persen dari seluruh pangan yang diproduksi diperdagangkan, harga di pasar internasional memiliki dampak pada petani di dunia untuk mendapatkan hidup yang layak. Dan, sekarang ada kecenderungan kesamaan harga di tingkat domestic dan harga internasional, akibat dari liberalisasi perdagangan.
Kecuali dan sampai ada mekanisme yang cukup telah beroperasi di level internasional untuk mengatasi masalah volatilitas harga, sangat penting bagi negara untuk memiliki fleksibilitas penuh untuk melindungi pasarnya dari banjir impor. Skema manajemen suplai dan mekanisme pemasaran yang terarah memiliki peran dalam hal ini.
Pelapor Khusus menggarisbawahi pentingnya konsultasi yang terlibat dan terbuka. Misalnya disebutkan, dengar pendapat dengan parlemen nasional. Organisasi petani akan memainkan peran penting dalam menrancang strategi nasional hak atas pangan, dan strategi tersebut akan mencakup lebih luas dari konteks isu WTO, sebagai dukungan bagi posisi pemerintah dalam berdiskusi dengan lembaga keuangan itnernasional, dengan negara dan lembaga donor serta dalam perundingan bilateral.
De Schuter menyarankan, Negara seharusnya menghindari ketergantungan yang berlebihan dalam perdagangan internasional untuk memenuhi ketahanan pangan. Dalam membangun kapasitas produksi pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi, negara harus mendukung Petani-petani skala kecil.
Karena di seluruh negara-negara berkembang, pertanian merupakan penyumbang setengah dari angkatan kerja. Di negara yang kurang berkembang, pertanian bahkan menyumbang 70 persen angkatan kerja, Sehingga pemenuhan hak atas pangan tidak punya alternative kecuali memperkuat sector pertanian dengan tekanan pada Petani skala kecil.
Salah satu fakta yang diajukan oleh Prof. De Schuter adalah ketidakseimbangan dalam rejim perdagangan saat ini dimana, pembatasan dilakukan di tingkat negara, tidak berlaku untuk perusahaan transnasional. Sehingga perusahaan justru memproleh kebabasan yang lebih banyak, serta tidak menjadi subyek dari kewajiban apapun berkaitan dengan kekuasaaan yang berlebihan di pasar internasional.
Pelapor Khusus ini secara resmi akan memberikan presentasi temuan-temuannya pada Maret 2009 dalam sessi Dewan Hak Azasi Manusia di Jenewa.
Sumber: Doha Round will not prevent another food crisis oleh Kanaga Raja, dari South-North Development Monitor (SUNS) #6614, 19 Desember 2008.
-----------------------------------------------
Laporan lengkap dari Prof. Prof Olivier De Schutter yang berjudul Building Resilience : A Human Rights Framework for World Food and Nutrition Security (A/HCR/9/23) bisa diunduh dari situs : http://ap.ohchr.org/documents/dpage_e.aspx?m=101 atau http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/155/08/PDF/G0815508.pdf?OpenElement
Demikian kesimpulan Pelapor Khusus PBB (UN Special Rapporteur) Prof Olivier De Schutter dalam penelitian awal dari laporan yang disusunnya mengenai pemenuhan untuk Hak atas Pangan.
Prof. De Schutter mengatakan bahwa WTO (Organisasi Perdagangan Dunia – World Trade Organisation) tidak akan mencegah krisis pangan. Karena itu dia menyerukan negara-negara anggota untuk hanya menerima keputusan-keputusan di bawah kerangka WTO yang sesuai dengan hak mereka untuk memenuhi kewajiban atas pangan.
Ahli hak azasi tersebut mengatakan bahwa negara-negara harus menentukan posisi-posisinya dalam perundingan perdagangan yang sesuai dengan strategi nasional untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya dan selalu melakukan kajian hak asasi manusia pada perjanjian-perjanjian perdagangan.
Dalam presentasinya di depan media di kantor PBB di Jenewa ketika perundingan rutin di WTO sedang dilakukan Desember lalu, ahli independen tersebut mengatakan, sampai sekarang, perjanjian perdagangan telah gagal untuk mengatasi kelaparan di dunia.
Dia menunjuk masih ada 963 juta orang yang keleparan di dunia. Jumlah itu telah bertambah sebanyak 100 juta pada tahun 2006 akibat krisis pangan global. Sebelumnya pada tahun 2005 terdapat 852 juta orang yang kelaparan.
Prof. De Schutter mengatakan saat ini ada semacam konsensus bahwa kita tidak sukses memastikan bahwa perdagangan bekerja untuk pembangunan dan bisa memerangi kemiskinan. Dia mencatat, bahwa ada semacam keyakinan “ kita belum cukup jauh berjalan, kita harus lebih banyak menghilangkan mekanisme perdagangan yang mendistorsi, menghilangkan sebagian besar subsisi dan kita harus memperbaiki akses pasar untuk negara berkembang”.
Pelapor khusus PBB juga mengkritik kebijakan pertanian yang berlangsung di negara-negara maju di OECD (organisasi negara-negara maju). "kita semua tahu, dampak yang sangat buruk terjadi di pertanian negara-negara berkembang akibat skema subsidi dan dukungan domestic di negara-negara OECD. Kita tahu ini adalah masalah serius yang harus diatasi dan masih banyaknya hambatan tariff dan non tariff yang menghalangi negara berkembang mendapatkan keuntungan dari perdagangan produk-produk mereka.
Dia menekankan bahwa implementasi yang lebih jauh dari program reformasi, “didasarkan atas ilusi bahwa dengan menghilangkan distorsi, kita akan mencapai level yang sama”.
"Itu tidak benar, kata Prof. De Schutter. Bahkan tanpa subsidi di negara-negara maju, produktivitas di negara maju dan negara berkembang, sangat berbeda, dan itu perlu menjadi perhatian”. Kecuali di negara anggota Cairns Group (kelompok negara eksportir pertanian seperti Australia dan Selandia Baru) dimana mereka telah mempersiapkan diri dan memiliki keunggulan kompetitif di pertanian.
Di tahun 2006, produktifitas tenaga kerja di negara kurang terkembang (LDCs) hanya 46 persen dari produkstifitas tenaga kerja di negara berkembang dan, kurang dari 1 persen dari negara maju.
Dalam konteks ini, ide untuk meningkatkan ‘lapangan permainan yang sama’ tidak berarti, demikian dalam ditulis dalam laporan. Ditambahkan, dengan memperdalam liberalisasi perdagangan tidak akan menjadikan petani di negara-negara berkembang dapat berkompetisi dengan level yang sama dengan negara maju, kecuali upah dan harga produk pertanian di negara-negara Selatan ditekan rendah sekali untuk mengkompensasi rendahnya produktifitas per tenaga kerja.
Inilah alasan yang menjustifikasi perlakuan berbeda dan khusus untuk negara berkembang, demikian kata Prof. De Schutter. Pesan inti yang ingin disampaikan dalam laporan Pelapor Khusus PBB adalah perdagangan bukanlah pengganti dari pengembangan kapasitas dari setiap negara untuk memberi makan populasi warganya.
Laporan tersebut berpendapat bahwa jika perdagangan bekerja untuk pembangunan dan berkontribusi pada realisasi hak atas kecukupan pangan, maka perlu untuk mengakui kekhususan masing-masing produk pertanian dan tidak menyamakan seperti komoditas lainnya. Serta, memperbolehkan fleksibilitas kepada negera –negara berkmebang, untuk melindungi produsen pertanian mereka dari kompetisi dari negara yang petaninya sudah maju. ”kita seharusnya tidak percaya bahwa perdagangan internasional akan mencapai keamanan pangan dengan cara yang berkelanjutan”, demikian dikatakan oleh De Schutter.
Laporan pelapor khusus ini mengkaji liberalisasi perdagangan di sector pertanian dari persektif hak azasi untuk mendapatkan kecukupan pangan, seperti yang diakui dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia dan Kovenan Internasional dalam Hak ekonomi, Sosial dan Kultural. Ini memiliki empat implikasi, demikian kata De Schuter:
Pertama, proses liberalisasi mengharuskan negara memerlukan strategi nasional untuk pelaksanaan hak atas pangan, dimana peran dari perdagangan harus ditentukan dengan mengacu pada hak azasi manusia dan tujuan pembangunan.
Kedua, ini juga menekankan perlunya sistem perdagangan multilateral yang kolaboratif, dan tidak memaksa komitmen negara yang bertentangan dengan kewajiban pemenuhan hak azasi, dan karenanya menekankan pentingnya negera memilliki ruang kebijakan yang cukup.
Ketiga, menurut laporan tersebut, perspektif hak untuk mendapatkan pangan, memerlukan perubahan pengukuran yang saat ini cenderung abstrak (seperti nilai pendapatan bersih brutto atau GDP) menjadi ke arah yang lebih memfokuskan pada kerentanan dan ketidaktahanan pangan.
Keempat, laporan pelapor khusus mengingatkan nilai khusus mengenai pangan yang aman, bergizi, secara budaya layak dan pangan yang berkelanjutan sebagai hak dasar bagi semua, Karenanya, dampak pada kesehatan nutrisi dan lingkungan seharusnya menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan diskusi mengenai perdagangan.
Memisahkan diskusi antara dampak perjanjian WTO dari factor faktor yang melemahkan kapasitas negara dalam mengimplementasikan kewajiban hak azasi manusia merupakan merupakan hal yang tidak mungkin, karena aturan yang diterapkan di bawah perjanjian pertanian akan memberikan dampak kombinasi di perdagangan, fiskal dan kebijakan sosial di tingkat domestik.
Laporan tersebut dihasilkan dari ahli independent yang melakukan konsultasi dari berbagai sector termasuk para dutabesar perwakilan negara-negara anggota WTO. Ini juga pertama kali WTO menerima permintaan dari Pelapor Khusus untuk melakukan misi menilai perjanjian pertanian dari perspketif hak azasi manusia.
Misi Prof. Olivier De Schutter ke WTO telah membawanya ke diskusi kontroversial seperti mekanisme pengaman khusus (special safeguard mechanisms) dan ‘kekhususan’ produk-produk pertanian yang menjadi kunci dan perdebatan dalam perundingan pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam laporan tersebut, aturan pengamanan (safeguard) dalam perdagangan pertanian adalah krusial. Negara khususnya negara berkembang sesuai dengan prinsip perlakuan khusus dan berbeda, harus mendapatkan kebebasan untuk menetapkan aturan yang melindungi pasar domestik dari kerentanan harga pasar internasional.
Meskipun hanya sekitar 15 persen dari seluruh pangan yang diproduksi diperdagangkan, harga di pasar internasional memiliki dampak pada petani di dunia untuk mendapatkan hidup yang layak. Dan, sekarang ada kecenderungan kesamaan harga di tingkat domestic dan harga internasional, akibat dari liberalisasi perdagangan.
Kecuali dan sampai ada mekanisme yang cukup telah beroperasi di level internasional untuk mengatasi masalah volatilitas harga, sangat penting bagi negara untuk memiliki fleksibilitas penuh untuk melindungi pasarnya dari banjir impor. Skema manajemen suplai dan mekanisme pemasaran yang terarah memiliki peran dalam hal ini.
Pelapor Khusus menggarisbawahi pentingnya konsultasi yang terlibat dan terbuka. Misalnya disebutkan, dengar pendapat dengan parlemen nasional. Organisasi petani akan memainkan peran penting dalam menrancang strategi nasional hak atas pangan, dan strategi tersebut akan mencakup lebih luas dari konteks isu WTO, sebagai dukungan bagi posisi pemerintah dalam berdiskusi dengan lembaga keuangan itnernasional, dengan negara dan lembaga donor serta dalam perundingan bilateral.
De Schuter menyarankan, Negara seharusnya menghindari ketergantungan yang berlebihan dalam perdagangan internasional untuk memenuhi ketahanan pangan. Dalam membangun kapasitas produksi pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi, negara harus mendukung Petani-petani skala kecil.
Karena di seluruh negara-negara berkembang, pertanian merupakan penyumbang setengah dari angkatan kerja. Di negara yang kurang berkembang, pertanian bahkan menyumbang 70 persen angkatan kerja, Sehingga pemenuhan hak atas pangan tidak punya alternative kecuali memperkuat sector pertanian dengan tekanan pada Petani skala kecil.
Salah satu fakta yang diajukan oleh Prof. De Schuter adalah ketidakseimbangan dalam rejim perdagangan saat ini dimana, pembatasan dilakukan di tingkat negara, tidak berlaku untuk perusahaan transnasional. Sehingga perusahaan justru memproleh kebabasan yang lebih banyak, serta tidak menjadi subyek dari kewajiban apapun berkaitan dengan kekuasaaan yang berlebihan di pasar internasional.
Pelapor Khusus ini secara resmi akan memberikan presentasi temuan-temuannya pada Maret 2009 dalam sessi Dewan Hak Azasi Manusia di Jenewa.
Sumber: Doha Round will not prevent another food crisis oleh Kanaga Raja, dari South-North Development Monitor (SUNS) #6614, 19 Desember 2008.
-----------------------------------------------
Laporan lengkap dari Prof. Prof Olivier De Schutter yang berjudul Building Resilience : A Human Rights Framework for World Food and Nutrition Security (A/HCR/9/23) bisa diunduh dari situs : http://ap.ohchr.org/documents/dpage_e.aspx?m=101 atau http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/155/08/PDF/G0815508.pdf?OpenElement
0 komentar