Pengikut

Sekali lagi...tanah untuk penggarap!"


Semangat melakukan perombakan /penataan ulang struktur pemilikan, penguasaaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, demi kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah sudah lahir lebih dari 2500 tahun lalu. Warisan “purba” penjaga hak dan martabat kemanusiaan/nasib golongan lemah tertindas ini mengalami lintasan pasang surut dan tantangan yang tak pernah padam. Beragam bentuk pemasungan, pembiasan, pembajakan, pembelokan, reduksi makna substansi hingga kebijakan “mem-peti-Es kan” semangat “Land Reform” --yang dalam perkembangnnya, karena tuntutan dan pengalaman zaman ditambah faktor penunjangnya (acces reform); penyediaan sarana produksi, akses modal/pengkreditan, pendidikan, penyuluhan dll disebut sebagai ‘Reforma Agraria”—terus terjadi, baik oleh Penguasa/Negara, Pemilik Modal (Lokal, Nasional dan Global) dan Pemangku Kebijakan lainnya, dengan satu sebab ‘keterancaman akan pembatasan nafsu akumulasi/kapitalisasi modal dan kuasa atas sumber agraria’ yang mereka miliki selama ini akan berkurang dan terampas demi keadilan dan pemerataan pada kaum tani miskin, nelayan kecil, buruh, dan kelompok marjinal lain; pemilik hak yang sejati.Atas nama ancaman pengekangan nafsu akumulasi modal itulah berbagai kelompok kepentingan dan golongan haus kuasa lainnya dalam sejarah masa lalu bahkan hingga kini terus menghambat, membungkam dan selalu berupaya memandulkan semangat Refoma Agraria sebagai solusi dan alas pembanguanan di berbagai negara. Pun di Indonesia.

Dalam kasus sejarah Reforma Agraria di Indonesia yang demikian kompleks dan khas, dengan susah payah dan terseok-seok akhirnya melahirkan UUPA 1960 sebagai payung hukum atas kekayaan sumber-sumber agraria nasional. Meskipun oleh sebagian akademisi masih dianggap belum ‘sempurna’, sebagai salah produk ‘bernilai historis’, UUPA 1960 ternyata tak terhindar dari upaya-upaya pembelokan, pemandulan, pembiasan bahkan stigmatisai, baik secara historis, normatif maupun praksis. Munculnya Undang-undang Sektoral; Perkebunan, Kehutanan, Migas, Mineral, Tambang, Air dll yang di ‘status Quo-kan’, stigmatisasi UUPA ‘warisan PKI’, reduksi makna Reforma Agraria hanya bermakna ‘bagi-bagi tanah’, ‘sertifikasi tanah’, Program Larasita, dan bentuk-bentuk ‘Reforma Agraria’ supporting by Word Bank, WTO, IMF dll menjadi bukti nyata tak berfungsinya substansi dasar dari UUPA 1960 yang berazaskan keadilan sosial demi seluas-luasnya kepentingan rakyat (UUD 1945 pasal 33) bukan segelintir orang sebagaimana dapat dijumpai pada realitas tata kelola, tata kuasa dan tata produksi sumber-sumber agraria di Indonesia kini. Menurut data BPN 2007, hampir 70 % asset nasional Indonesia di kuasai oleh 0,02 % penduduk, dan lebih dari separoh asset itu adalah ‘tanah’ pertanian (beserta kandungannya). Ketimpangan (incompabilities, yang menurut Wiradi;2000 terdiri tiga hal; ketimpangan stuktur ‘pemilikan’ dan penguasaan tanah; ketimpangan ‘peruntukan’ tanah dan ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria) ini semakin nyata jika disambung dengan semakin menyempitnya luas lahan sawah untuk pertanian (berkurang 808.756 ha dalam 6 tahun terakhir sejak 1998-2004, dan musnahnya 75% lebih varietas padi lokal dari sebelumnya yang berjumlah 12.000an) akibat proses industrialisasi, pembangunanisasi, ‘modernisasi ber-watak Imperalistik-ekspansionis beragama Neo-liberalisme, padahal di sanalah sumber gantungan hidup kaum petani yang lebih dari 70 % menjadi penduduk pedesaan di Indonesia, dan separohnya adalah golongan tunakisma (landless).

Maka benar, jika salah satu sebab utama kegagalan proses pembagunan nasional karena tidak tidak menempatkan Reforma Agraria sebagai basis dan alas dasarnya. Meningkatnya jumlah kaum petani gurem dalam 10 tahun tarakhir (1993-2003) dari 10, 8 juta menjadi 13, 7 juta orang, meningkatnya jumlah kaum miskin sebagaimana dicatat BPS Maret 2007 yang juga dikutip oleh BPN-RI menyebutkan bahwa; jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan iniseden kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 21,90 persen.

Ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian. Diketahui pula bahwa dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata 90 persen bekerja—yang berarti mereka bekerja keras tapi tetap miskin.

Semantara untuk angka pengangguran terbuka menurut data Februari 2007 mencapai 10,55 juta jiwa (9,75 persen dari total angkatan kerja), yang tersebar di Pulau Jawa, yaitu 10,39 persen dari total angkatan kerja di Pulau Jawa, di susul PUlau Sulawesi dan Pulau Sumatera, masing-masing 9,94 persen dan 9,62 persen. Sedangkan angka setengah pengangguran di Indonesia (per Februari 2006, karena waktu itu data tersebut belum tersedia untuk Februari 2007) mencapai 29, 92 juta jiwa (28,16 persen); paling banyak terdapat di pedesaan yaitu 23 juta jiwa (36,76 persen) dan di perkotaan 6,92 juta jiwa (15,83 persen).

Tak kalah mengkuatirkan adalah semakin tingginya ancaman krisis pangan (akibat kebijakan impor beras, monopoli bibit, monopoli teknologi pertanian dan ketergantungan atas pupuk kimia), menjadi bukti bagaimana kebijakan ‘tambal-sulam’ pembanguanan nasional dilakukan mengabaikan pondasi dasar penataan ulang struktur agraria.

Dalam aras global, cengkeraman dan gurita Neoliberalisme semakin mempurukkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam jebakan ketergantungan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang sengaja ‘diseragamkan’. Hutang luar negeri Indonesia yang menurut laporan Koalisi Anti Utang hampir menyentuh angka Rp 900 triliun pada januari 2008, peng-aminan pemerintah Indonesia pada konsesus Whasington, Protokol Kyoto beserta produk pasar bebas dan aturan global yang melegitimasinya--yang nyata-nyata hanya menguntungkan kepentingan negara-negara maju--, pembebekan pada titah baginda IMF, rezim WTO, Word Bank, TNC dan badan donor dunia lainnya dalam kebijakan dan pembangunan pertanian dan sumber daya alam di Indonesia (dengan petuah suci; deregulasi, privatisasi dan swastanisasi) telah sukses memporakporandakan kemewahan dan kekayaan ‘ekologis’ bangsa ini. Hasilnya, hutan, laut, pertanian, tambang, mineral, gas, minyak bumi dan sumber-sumber agraria lainnya rusak-tercemar dan telah ter’kapling’ (12 perusahan asing terkemuka) dengan aman, tertib dan ‘legal’ (dengan UUPM 2008) pada pemilik modal asing. Dan golongan petani gurem (dalam beragam pola pertaniannya) yang berada di pinggir-pinggir kekuasaan modal asing itu hanya menerima ‘sampah’, sisa-sisa limbah dan kenyataan tanah sawah, irigasi, pohon-pohon, kebun, hutan, sungai tak lagi sehat dan memenuhi kebutuhan produktifitas dan subsistensi mereka. Bahkan sebagaian besar petani itu adalah golongan yang tercerabut dari tanah leluhurnya sendiri.

Dalam konteks problem dan tantangan global-nasional semacam itu, Gerakan Tani beserta aneka ragam model/bentuk, aneka pilihan ‘ideologis’, fokus, pendekatan dan karakter orentasinya-- dengan segala kekuatan lebih dan kurangnya—sebagai salah satu pilar atau ‘soko guru’ penegakkan dan pelaksanaan Reforma Agraria, seyogyanya merefleksikan diri. Balutan sejarah persengketaan ‘ideologis’ antar gerakan tani, ketidakjumpaan ‘platform bersama’, pengangkangan ‘teritori/zona’advokasi kaum tani, perbedaan orientasi ‘perzuangan’ dan problem ‘luaran’ lainnya, mestinya tak mengalahkan kebutuhan ’dalam/isi’ yaitu nasib kaum tani sendiri. Dengan meletakkan nasib kaum tani sebagai pendulum dan kutub kepemihakan bersama para ‘pejuang’ gerakan tani, maka yang mestinya di dahulukan adalah menjawan soal mekanisme dan solusi apa untuk mengeluarkan dan memartabatkan derajat kaum petani ke arah yang lebih baik dan sejahtera. Melihat sketsa problem yang telah dijelaskan dimuka, tanpa alas Reforma Agraria, nasib kaum tani tentu akan berulang menjadi golongan ‘korban’ pembangunan dan kemajuan sebagaimana terlampir dalam tapak sejarah dinamika politik-sosial-ekonomi ‘Republik Indonesia’. Sayang, justru pada titik inilah (;ragam pemaknaan nasib kaum tani dan jalan Reforma Agraria) persoalan gerakan tani nampak belum tertuntaskan.

Terkait dengan persoalan dan spektrum persoalan yang dihadapi petani sebagaimana terpapar di atas, beberapa LSM dan Ormas nasional menggelar Konferensi Nasional Reforma Agraria yang sedianya akan dilangsungkan di kompleks kampus IPB Bogor pada akhir Mei 2009. Namun dikarenakan berbagai kendala yang cukup rumit terkait persiapan-persiapan lapangan ada kemungkinan acara ini akan diundur di bulan berikutnya.

Pembahasan persoalan di atas akan dituangkan dalam sebuah diskusi panel Petani dengan Tema "Gerakan Tani dalam Mewujudkan Reforma Agraria Sejati", di samping panel-panel lain yang sudah direncanakan seperti nelayan, lingkungan dan seterusnya. Acara ini bertujuan untuk melakukan refleksi perjuangan dan pemetaan kritis gerakan tani dalam mewujudkan RA Sejati, Menyusun kerangka operasional pelaksanaan RA di sektor pertanian, serta Merumuskan kerangka aksi bersama gerakan tani dalam mewujudkan RA Sejati. Dalam agenda panel petani, selain pembahas yang berasal dari beberapa LSM dan Ormas Tani seperti Binadesa, IHCS, SPI, API, IHCS, RAVA dan SAINS juga menghadirkan panelis lain seperti F Wahono (Akademisi/praktisi), Agustiana (aktivis petani), dan BPN serta KPsHK(pemerintah).

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 18 Mei 2009

0 komentar

Posting Komentar

Aliansi Petani Indonesia

Subscribe here

Lagu-lagu Perjuangan Petani Organik API

Dokumentasi