Pengikut

Oleh Nurul Barizah

1. Antara UU PVT, UU Paten and UU Sistem Budi Daya Tanaman

Tentang Perlindungan Varietas Tanaman

Ada beberapa motifasi dari diundangkan UU PVT ini. Pertama, untuk melaksanakan kewajiban internasional sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia (WTO). Akibat dari keanggotaan ini, maka negara harus menyesuaikan hukum nasional yang mereka buat dan tidak boleh bertentangan dengan hukum atau aturan yang telah dibuat oleh organisasi perdagangan dunia itu. Salah satu dari kewajiban yang harus ditaati Indonesia yang berkaitan dengan hak-kekayaan intelektual (HKI) mensyaratkan negara anggota untuk memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman yang baru; Kedua, untuk mengembangkan penemuan-penemuan baru dibidang pertanian dan menggunakan dengan sebaik-baiknya kekayaan sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia untuk merakit varietas unggul guna mendukung pembangunan ekonomi; Ketiga, untuk mendorong kegiatan yang menghasilkan varietas tanaman unggul dengan memberikan penghargaan bagi mereka (badan usaha atau orang) yang bergerak dibidang pemuliaan tanaman. Dan, keempat, untuk mendorong dan memberi peluang dunia usaha dalam pembangunan di dibidang pertanian, memberikan landasan hukum bagi upaya terciptanya varietas unggul yang baru dan pengembangan industri perbenihan.

Konsep Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
Konsep ini dikembangkan karena ketentuan tentang paten tidak memberikan perlindungan atas varietas tanaman baru, sebagai hasil dari proses permuliaan tanaman. Berdasarkan ketentuan internasional tentang HKI jika negara tidak memberikan PVT dalam UU paten, maka negara tersebut harus membuat undang-undang khusus tersendiri yang efektif untuk perlindungan varietas tanaman baru ini.

Hukum tentang paten Indonesia hanya melindungi proses untuk membuat atau memproduksi tanaman dengan menggunakan teknik-teknik bioteknologi. Sedangkan PVP memberikan perlindungan atas produk, yang berupa bibit/benih yang dihasilkan dari teknik-teknik bioteknologi maupun alami dalam bentuk varietas tanaman baru.

Persyaratan Perlindungan dan Perkecualian
Varietas tanaman yang tidak dilindungi dalam paten dapat dilindungi dalam UU PVP. Semua jenis varietas tanaman dapat dilindungi oleh PVP apakah varietas tersebut dikembang biakkan secara generatif maupun vegetatif, kecuali mikroorganisme (jasad renik) yang dilindungi dalam bentuk paten.

Definisi mengenai varietas dalam UU PVT sama dengan definisi yang terdapat dalam UU no 12 tahun 1992 mengenai Sistem Budidaya Tanaman (SBT) dengan tambahan penjelasan tentang sifat genotipe atau kombinasi genotipe sebagai salah satu unsur karakter dasar yang membedakan varietas tanaman yang satu dengan yang lainnya.

Persyaratan perlindungan berdasarkan pada UU PVP Indonesia adalah sama dengan persyaratan pendaftaran di negara –negara lainnya yang telah meratifikasi UPOV 1991. Hal ini menimbulkan pertanyaan, jika tingkat pembangunan pertanian untuk mengembangkan varietas yang baru di Indonesia tidak sama dengan negara-negara di mana UPOV berasal, mengapa Indonesia memberikan perlindungan dengan standart yang sama dengan yang ada di jurisdikasi negara lain? Mengapa Indonesia tidak mengikuti standart dari negara yang mempunyai kesamaan tingkat pembangunan pertanian dalam memberikan perlindungan yang seperti itu?

Untuk dapat dilindungi dalam PVP suatu varietas harus : baru, unik, seragam, stabil dan diberi nama. Sifat kebaruan dan keunikan dari suatu varietas ditentukan pada saat permohonan penerimaan hak PVP. Suatu vareitas dianggap baru jika bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tersebut belum pernah diperdagangkan di Indonesia dan sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari satu tahun, atau telah diperdagangkan diluar negeri tidak lebih dari empat tahun untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan. Suatu varietas dianggap unik jika berbeda dengan varietas lain. Suatu varietas dianggap seragam jika sifat utama varietas tersebut meskipun cara tanan dan lingkungan yang berbeda-beda, namun hasilnya tetap seragam. Sedangkan suatu varietas dianggap stabil jika sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan setelah ditanam berulang-ulang.

Varietas transgenik yang dikembangkan melalui rekayasa genetika juga bisa di lindungi dalam PVT ini sepanjang pendaftar memberikan penjelasan secara penuh mengenai varietas tersebut, yang termasuk:

Uraian mengenai penjelasan molekuler varietas yang bersangkutan dan stabilitas genetik dari sifat yang diusulkan, sistem reproduksi tertuanya, keberadaan kerabat liarnya, kandungan senyawa yang dapat mengganggu lingkungan, dan kesehatan manusia serta cara pemusnahannya apabila terjadi penyimpangan; dengan disertai surat pernyataan aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia dari instansi yang berwenang.

Namun, UU PVP tidak secara tegas menetapkan apakah varietas yang dikembangkan dengan menggunakan terminator teknologi juga dapat dilindungi dalam PVP.

Penting untuk dicacat bahwa UU ini memfasilitasi perkembangan bioteknologi modern yang memproduksi varietas yang baru melalui rekayasa genetika. Namun, kelihatannya UU ini kurang memberikan perlindungan terhadap varietas tradisional yang telah dikembangkan oleh petani, karena sangat sulit bagi petani dengan varietas tradisionalnya untuk memenuhi kriteria seragam dan stabil sebagaimana disyaratkan oleh UU PVT.

Hak-Hak Pemulia dan Hak-Hak Petani
UU tentang PVT memberikan perlakuan yang tidak sama antara hak-hak pemulia dan hak-hak petani, dan mempromosikan perlindungan yang kurang seimbang antara kepentingan umum dan kepentingan pemegang hak PVT. Hal ini karena UU PVT ini dibuat untuk melindungi hak-hak pemulia, peneliti dan pemulia tanaman yang komersial, dan bukan untuk melindungi hak-hak petani. Misalnya, UU menegaskan bahwa pemuliaan tanaman adalah:

Rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.

Ketentuan tersebut mengandung resiko karena bisa diinterpretasikan bahwa proses pemuliaan yang dikembangkan oleh petani dan masyarakat lokal tidak akan dianggap sebagai pemuliaan tanaman berdasarkan ketentuan diatas. Sebaliknya, varietas baru yang dikembangkan oleh pemulia tanaman komersial mungkin berasal dari tanaman asal yang dikembangkan oleh petani, tetapi UU tidak secara jelas menegaskan kompensasi untuk petani dalam mengembangkan varietas lokal yang digunakan oleh pemulia komersial untuk menbuat varietas baru.

Adapun cakupan hak-hak pemulia ini sangat luas, sebagaimana dibawah ini:
1. menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.
2. menggunakan varietas untuk kegiatan:
a. memproduksi atau memperbanyak benih;
b. menyiapkan untuk tujuan propogasi;
c. mengiklankan;
d. menawarkan;
e. menjual atau memperdagangkan;
f. mengekspor;
g. mengimport;
h. mencadangkan untuk keperluan sebagaimana tersebut dalam butir a, b, c, d, e, f dan g.

Hak-hak tersebut diatas juga berlaku untuk varietas turunan esensial, varietas yang tidak dapat dibedakan secara jelas dengan varietas yang dilindungi; dan varietas yang diproduksi dengan menggunakan varietas yang dilindungi.

Untuk mencegah terjadinya perbanyakan benih, maka penggunaan hasil panen yang digunakan untuk propogasi dan yang berasal dari varietas yang dilindungi harus mendapatkan persetujuan dari pemegang PVT.

Dengan luasnya hak yang diberikan kepada pemulia, maka hak yang tersisa bagi petani hanyalah penggunaan sebagian dari hasil panen dari varietas yang dilindungi sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan yang bersifat non-komersial adalah untuk aktifitas individu petani itu sendiri, terutama bagi petani-petani kecil untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak termasuk aktifitas untuk memenuhi kebutuhan temannya sesama petani.

Meskipun begitu, PVT tidaklah menjadi masalah bagi petani yang biasa melakukan kegiatan tukar-menukar benih sepanjang benih yang dipertukarkan oleh petani bukan benih yang dilindungi oleh PVT, dalam artian petani tetap bisa melakukan kegiatan tukar menukar benih, sepanjang benih yang dipertukarkan adalah benih yang tidak dilindungi oleh PVT, dan bukan benih varietas baru yang dibeli dipasar komersial, dan karenanya tidak dilindungi oleh PVT. Benih-benih varietas tradisional masih bisa dipertukarkan dan didistibusikan kepada petani-petani tradisional dan tetangga-tetangganya tanpa melanggar hak pemulia tanaman.

Namun, pertukaran bibit akan menjadi suatu problem jika seseorang mendapatkan bibit yang dilindungi oleh PVT dan kemudian dia menaman kembali benih-benih itu untuk masa tanam selanjutnya dan juga kemudian menukarkan itu ke teman-teman sesama petani. Kondisi seperti ini menjadi dilema bagi petani, hal ini karena jika petani mempertahankan benih-benih tradisional, mereka mungkin tidak akan mendapatkan keuntungan dari kemajuan dibidang pertanian yang ditawarkan oleh bibit-bibit yang dilindungi oleh PVT, sehingga menjadi tidak kompetitif. Tetapi, petani-petani yang seperti ini biasanya menjual hasil panennya dalam pasar tradisional dengan skala yang lebih kecil dan bukan pasar benih komersial dengan skala yang lebih luas yang menggunakan PVT.

Untuk bisa berkompetisi, petani-petani dianjurkan untuk menggunakan benih-benih yang dilindungi oleh PVT, tetapi karena hasil panen dari varietas tersebut tidak dapat dipertukarkan dan bahkan untuk jenis-jenis benih tertentu tidak dapat ditanam kembali, ketergantungan petani-petani pada industri perbenihan tidak dapat dielakkan. Dan dengan memperhatikan karakteristik petani di Indonesia yang merupakan petani kecil, dengan kepemilikan tanah yang terbatas, dan yang secara ekonomi terpinggirkan, maka jika mereka harus bersandarkan pada benih yang dibeli dengan mahal dari industri perbenihan maka kondisi seperti ini kemungkinan kurang menguntungkan bagi petani.

Perlindungan Varietas Local
UU PVT menetapkan bahwa negara menguasai varietas lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Varietas lokal ini mengacu pada varietas yang telah ada dan telah dibudidayakan oleh petani-petani secara turun temurun dan menjadi milik masyarakat. Salah satu wujud dari kontrol negara terhadap vareitas lokal ini adalah bahwa pemerintah berkewajiban memberikan nama terhadap varietas lokal tersebut. Pemerintah juga mengatur hak imbalan dan penggunaan varietas tersebut dalam kaitannya dengan PVT serta usaha-usaha pelestarian plasma nutfah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 13 tahun 2004, mandat untuk mengontrol varietas lokal diberikan kepada Bupati atau Walikota untuk bertindak untuk dan atas nama masyarakat di dalam wilayahnya sebagai pemilik varietas lokal. Konsekuensinya, mereka yang ingin menggunakan varietas lokal sebagai varietas asal untuk mengembangkan varietas turunan esensial harus melakukan perjanjian terlebih dahulu dengan Bupati atau walikota.

Melalui UU PVT, pemerintah bertindak sebagai otoritas yang mengontrol benih varietas tanaman. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah berusaha untuk mencegah penyalahgunaan varietas tanaman lokal. Namun, komunitas lokal yang telah mengembangkan varietas tanaman tersebut mungkin menolak penguasaan pemerintah yang berlebihan. Berdasarkan prinsip bahwa pemerintah mempunyai hak berdaulat atas sumber daya yang ada di wilayahnya, penguasaan dan kontrol yang seperti itu dapat dibenarkan. Namun, ketentuan seperti itu juga bisa bersebrangan dengan prinsip-prinsip hak petani yang terkandung dalam International Treaty for Plant Genetic Resources for Food and Agriculture dan usaha yang dilakukan oleh Convention on Biological Diversity dan Bonn Guidelines yang memperluas kontrol terhadap sumber daya biologi oleh petani lokal dan masyarakat.

Dengan demikian, meskipun PVT tidak bertujuan untuk menutup kesempatan petani kecil untuk menggunakan varietas baru untuk kepentingan mereka sendiri, namun dalam prakteknya UU PVT mempunyai potensi membatasi kesempatan bagi petani untuk mengembangkan varietas yang baru.

Tentang Paten
Sama halnya dengan UU PVT, UU Paten di Indonesia juga dikembangkan dengan semangat perjanjian TRIPs untuk memfasilitasi liberalisasi perdagangan dunia dan untuk melindungi pemegang hak paten. Untuk kepentingan tersebut Indonesia telah merubah beberaap kali undang-undang paten. Perubahan yang terakhir pada tahun 2001, ketika muncul masalah masalah yang berkaitan dengan sumber daya genetika, dan pengetahuan tradisional. Namun sayangnya, UU paten yang terakhir pun belum menjawab permasalahan tersebut.

Dikaitkan dengan PVT, memang paten, sebagaimana dijelaskan diatas tidak memberikan perlindungan terhadap produk dalam hal ini varietas yang berupa benih/bibit. Namun, paten memberikan perlindungan terhadap proses untuk mengembangan varietas tersebut. Jadi tergantung klaimnya, jika klaimnya, dalam artian yang ingin dilindungi adalah proses, maka bisa didaftarkan untuk mendapatkan paten, tetapi jika yang ingin dilindungi adalah hasil dari proses itu yang berupa varietas (benih) maka bisa didaftarkan untuk mendapatkan PVP.

Subyek perlindungan paten di Indonesia adalah sama atau bahkan lebih liberal jika di bandingkan dengan subyek perlindungan paten di negara-negara maju, seperti Eropa. Meskipun makhluk hidup tidak dapat dipatenkan menurut UU paten Indonesia, tetapi mikroorganisme atau jasad renik bisa dipatenkan. Selanjutnya, masih belum jelas apakah gen tanaman, hewan dan manusia bisa dipatenkan berdasarkan UU Paten Indonesia. Ketidakjelasan ini menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan dapat dipatenkannya mikroorganisme atau jasad renik, hal ini mengundang kontraversi karena proses memisahkan jasad renik dari alam, atau proses mengisolasikannya bisa dianggap sebagai sesuatu yang baru dan mengandung langkah inventif. Jika semua proses yang seperti itu dilindungi dalam UU paten, maka itu berarti UU Paten telah menerapkan standart patentabilitas yang sangat rendah, dimana perbedaan antara apa yang disebut dengan ‘discovery’ dengan apa yang dikenal dalam UU Paten sebagai suatu ‘invention’ menjadi sangat kabur. Kekaburan seperti ini mempunyai potensi bahwa apa yang sesungguhnya mesti berada dalam ranah publik domain, menjadi bagian yang bisa diprivatisasikan.

Terkait dengan perlindungan paten atas jasad renik, Indonesia juga menerapkan formulasi definisi jasad renik yang cukup luas. Definisi jasad renik berdasarkan UU Paten Indonesia merefleksikan definisi yang diajukan oleh Amerika Serikat kepada Dewan TRIPs yang memaksa penggunaan kamus Oxford untuk mendefinisikan jasad renik. Selain itu, kantor paten dari negara-negara lain juga menginterpretasikan definisi jasad renik dengan cara-cara tertentu untuk memasukkan sell tanaman dan hewan. Dengan demikian maka, posisi Indonesia yang memberikan definisi yang luas untuk jasad renik dianggap merefleksikan kepentingan peneliti dan industri yang berbasis pada jasad renik, dan kurang merefleksikan kepentingan petani kecil.

Namun, berdasarkan UU paten, proses-proses biologi yang esensial untuk pembuatan tanaman dan hewan tidak dapat dipatenkan di Indonesia. Sebaliknya, proses-proses non biologi atau proses mikrobiologi dapat dipatenkan. Pengertian ‘proses biologi yang esensial untuk pembuatan tanaman dan hewan mengacu pada proses perkembangbiakan yang alami atau konvensional, seperti teknik polinasi dan persilangan alami. Sedangkan proses-proses non biologi atau proses mikrobiologi didefinisikan sebagai proses rekayasa genetika atau transgenik untuk pembuatan tanaman atau hewan yang dilakukan dengan melibatkan proses kimia, fisika, dan penggunaan jasad renik atau bentuk-bentuk lain dari rekayasa genetika. Dasar perlindungan paten untuk penemuan yang berkaitan dengan jasad renik, dan proses-proses non biologi dan proses mikrobiologi adalah karena kemajuan perkembangan bioteknologi dalam abad terakhir ini yang mampu menghasilkan berbagai invensi yang penting bagi masyarakat.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa proses untuk memproduksi tanaman dan hewan melalui bioteknologi modern dan mikrobiologi, seperti rekayasa genetika dan teknik-teknik transgenik dapat dilindungi berdasarkan UU Paten Indonesia. Namun, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut, hal ini berarti semua proses bioteknologi modern untuk memproduksi tanaman dan hewan dapat dipatenkan di Indonesia sama seperti hukum paten yang ada di negara-negara industri maju, sepanjang tidak bertentangan dengan agama, moral dan etika. Yang menjadi permasalahan adalah apakah proses yang terkait dengan terminator teknologi juga bisa dilindungi oleh hukum paten Indonesia? Jika menganut pada logika berpikir bahwa semua proses bioteknologi modern sebagaimana diatas dapat dipatenkan, maka proses pembuatan terminator teknologi juga bisa dipatenkan. Namun, apakah proses yang seperti ini tidak bertentangan dengan agama, etika, dllnya? Sehingga berakibat tidak dapat dipatenkannnya proses yang demikian, hal ini masih dalam tanda tanya besar.

Selanjutnya mengenai kepentingan petani, berbeda dengan PVT yang masih memberikan sedikit kesempatan bagi petani untuk menggunakan benih dari varietas yang lindungi sepanjang tidak untuk komersial, UU Paten tidak memberikan sedikitpun ruang bagi proses yang telah dikembangkan oleh petani untuk dilindungi paten. UU ini pun tidak memberikan kesempatan kepada petani untuk menggunakan proses yang sudah dipatenkan meskipun untuk kepentingan yang tidak komersial. Dan karena proses biologi yang esensial dan konvensional yang dilakukan dan dikembangkan oleh petani tidak dapat dilindungi oleh paten, tidak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat patentabilitas seperti kebaruan, dan mengandung langkah inventif, tetapi karena berdasarkan UU, proses tersebut dikecualikan dari perlindungan paten. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya UU Paten, seperti halnya UU PVT tidak dibuat untuk mengakomodasi kepentingan petani, tetapi kepentingan industri.

Namun, ketentuan diatas tidak berarti bahwa proses untuk pengembangan varietas secara konvensional yang dilakukan oleh petani tidak bisa dikembangkan lagi. Petani masih punya hak, sebagaimana sebelum adanya UU ini untuk menggunakan proses yang biasa mereka gunakan untuk pengembangan varietas. Namun, petani tidak boleh melanggar hak paten atau meniru proses pembuatan tanaman dan hewan yang dimiliki oleh industri perbenihan yang telah mendapatkan hak paten atas proses tersebut.

Tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT)
Berbeda dengan UU PVT dan Paten, yang dibuat dan disahkan setelah Indonesia menjadi anggota WTO dan menyepakati perjanjian TRIPs. UU SBT disahkan tahun 1992, dua tahun sebelum dibentuknya organisasi perdagangan dunia.

UU SBT ini dibuat tidak dalam kerangka melindungi hak mereka yang melakukan budidaya tanaman sebagaimana UU PVT dan Paten, tetapi UU ini dibuat dengan semangat untuk mengembangkan sistem pertanian yang maju, efisien dan tangguh, dan untuk melindungi tanaman dari segala upaya yang menyebabkan kerugian pada budidaya tanaman. Dengan demikian maka kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri dan eksport pertanian dapat ditingkatkan. Namun kelihatannya, UU SBT ini juga dipersiapkan untuk menghadapi liberalisasi dan globalisasi di bidang pertanian.

Untuk mencapai tujuan tersebut semua hal yang terkait dengan perencanaan budidaya tanaman ditentukan oleh pemerintah, termasuk penetapan wilayah pengembangan, pengaturan produksi berdasarkan kepentingan nasional, dllnya. Peran serta atau kontrol pemerintah yang cukup besar termasuk pengontrolan pada cara dan pola tanam mengakibatkan hak-hak yang dimiliki oleh pemangku kepentingan atas tanahnya, seperti petani, menjadi terpinggirkan.

Hal ini nampak jelas dalam ketentuan yang menetapkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun kekebasan tersebut diikuti dengan kewajiban petani untuk berperan serta dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah dalam pengembangan budidaya tanaman diwilayahnya. Selanjutnya, jika petani harus mengikuti ketentuan pemerintah, sehingga kebebasan untuk menentukan jenis tanamannya, maka pemerintah harus berusaha agar petani tersebut mendapatkan jaminan penghasilan tertentu. Ketentuan seperti ini bisa diartikan bahwa hak-hak petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditaman di tanahnya sendiri dibatasi.

Ketentuan yang amat penting dalam UU SBT mengatur mengenai perbenihan. Dalam kaitannya dengan perbenihan ini, untuk pengembangan budidaya tanaman, perolehan benih dapat dilakukan dengan kegiatan penemuan varietas unggul, atau benih yang berasal dari luar negeri. UU ini juga mengatur bahwa benih yang akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standart mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Benih yang telah lulus sertifikasi juga harus diberi label. Ketentuan-ketentuan mengenai benih diatas bertujuan untuk mengembangkan sektor pertanian yang tangguh dan juga untuk mengembangkan industri perbenihan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah UU SBT tersebut tidak mempertimbangkan atau seakan-akan menegasikan adanya benih yang dikembangkan secara konvensional oleh petani. Selanjutnya, sistem perbenihan yang ditetapkan dalam UU tersebut menutup kemungkinan bagi petani untuk bisa menggunakan benih yang mereka kembangkan sendiri, karena petani harus mematuhi program pemerintah. Selanjutnya, sistem ini juga menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya menjual, mengedarkan, atau membagi benihnya kepada teman sesama petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani.

2. Kaitan Ketiga UU tersebut dengan Ketahanan Pangan
Ada beberapa hubungan antara hak kekayaan intelektual (HKI) dalam hal ini PVT dan paten dengan ketahanan pangan. Demikian juga dengan UU SBT. Sebagaimana dijelaskan diatas, secara umum, PVT dan paten memberikan penghargaan, terutama kepada sektor swasta atau perusahaan perbenihan untuk mengembangkan benih-benih yang berkualitas unggul maupun yang mempunyai kekhasan tertentu yang kemudian akan meningkatkan ketahanan pangan dan pengelolaan keanekaragaman sumber daya pertanian. Demikian halnya dengan UU SBT. Namun, kondisi seperti ini bisa menjadi sebaliknya, bahwa penerapan PVT, Paten dan SBT akan meningkatkan aktivitas pemulia dan peningkatkan penggunaan varietas unggul sehingga kemungkinan akan mengancam keberadaan varietas lokal. Sebagaimana beberapa ahli juga berpendapat bahwa, PVT mempercepat laju pengembangan teknologi monokultur. Persyaratan paten, yaitu, kebaruan, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dibidang industri dan persyaratan PVT yaitu kebaruan, unik, seragam, stabil dan diberi nama dianggap sebagai penyebab utama penggunaan monokultur teknologi. Sedangkan SBT yang menekankan pada fungsi kontrol pemerintah yang besar dalam pola dan cara tanam, jenis tanaman, jenis benih yang ditanam, dan aturan-aturan perbenihan lainnya juga mempunyai kontribusi besar terhadap penggunaan monokultur teknologi. Hal ini juga berpotensi untuk mengikis keberagaman sumber daya, meskipun bukan merupakan penyebab utama. Dan kondisi yang seperti itu, berpeluang untuk mendorong privatisasi sumber daya genetika.

Perlindungan PVT yang berkaitan dengan benih ini sebenarnya pada awalnya tidak menjadi perhatian yang serious. Hal ini karena, pertama, di banyak negara dan pada tingkat internasional, pengelolaan di bidang pertanian berdasarkan pada konsep pertukaran pengetahuan dan plasma nutfah. Konsep seperti ini tidak sesuai dengan konsep perlindungan paten and PVT. Kedua, bidang pertanian dianggap sebagai bidang yang secara substansi berbeda dengan bidang teknologi lainnya karena petani biasanya menggunakan dan menyimpan benih-benih dari hasil panen sebelumnya dan karena hubungan antara pemenuhan bahan pangan dan pertanian maka percepatan komersialiasi sebenarnya tidak menguntungkan bagi petani di negara-negara yang sedang berkembang.

Namun, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) secara progresif telah diterapkan di bidang pertanian dalam dua tahapan: Pertama, yaitu dengan perlindungan PVT –yang berasal dari model hukum paten. Kedua, dalam kaitannya dengan pengembangan rekayasa genetika, diperbolehkannya perlindungan paten atas bentuk-bentuk kehidupan. Hal ini termasuk dapat dipatenkan jasad renik dan bentuk perlindungan varietas tanaman. Adapun pembenaran yang ditawarkan untuk perlindungan HKI dibidang pertanian adalah untuk mempercepat ketahanan pangan di negara-negara berkembang. Namun, secara umum, perlindungan hukum yang ditawarkan oleh HKI merupakan dorongan yang sangat penting bagi sektor swasta atau perusahaan perbenihan untuk berlibat dalam pengembangan teknologi pertanian. Dari sudut pandang ketahanan pangan, ada potensi yang sangat penting bagi perusahaan dibidang bioteknologi untuk kemungkinan memodifikasi varietas guna meningkatkan nilai nutrisi dari suatu varietas, seperti nasi yang mengandung vitamin A, dllnya.

HKI mempunyai potensi untuk mendorong produksi pertanian. Namun, di negara-negara yang sedang berkembang, kontribusi yang seperti ini harus dilihat dengan perspektif yang lebih luas dengan mempertimbangkan sejumlah variable. Perlindungan HKI di bidang pertanian juga berkaitan dengan bentuk-bentuk hak milik secara langsung yang berkaitan dengan pertanian, seperti, hak-hak atas tanah dan hak atas sumber daya biologi.

Kenyataannya, pertanyaan mengenai akses sumber daya biologi untuk pangan dan pertanian menjadi pusat debat yang sangat penting dalam level internasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Kontrol oleh individu petani, perusahaan swasta dan negara atas sumber daya genetika dan sumber daya biologi yang mereka pegang menjadi kontroversial dengan secara progresif diterapkannya HKI terhadap varietas tanaman. Bila berbagi sumber daya dan pengetahuan telah diterapkan sampai tahun 1980an, sistem baru yang mempromosikan kepemilikan individual sekarang ini telah berperan pada pembentukan seperangkat aturan mengenai kontrol atas pengetahuan dan sumber daya. Pada level internasional, kepemilikan individu dari penemuan melalui HKI telah diterapkan, dan negara juga mengontrol sumber daya utama. Namun sebaliknya, dalam level nasional, meskipun peran petani dalam konservasi dan menopang keanekaragaman sumber daya pertanian secara umum telah diakui, tetapi peran ini tidak diperlu diterjemahkan ke dalam klaim hak petani yang spesifik atas sumber daya atau pengetahuan.

Diterapkannya PVP memunculkan pertanyaan berkaitan dengan kontrol yang dimiliki petani terhadap sumberdaya dan pengetahuan. Secara umum, PVP cenderung memfasilitasi kontrol terhadap benih dan pengetahuan yang terkait dengannya oleh perusahaan agrobisinis. Hal ini kemungkinan tidak hanya mengakibatkan petani harus membayar lebih mahal, tetapi juga ketergantungan petani pada perusahaan tersebut akan ketersedian bibit. Hal ini berkaitan dengan royalti yang harus dibayar oleh petani untuk mendapatkan benih-benih yang dilindungi. Selain itu, petani juga dibatasi hak-haknya yang terkait dengan menyimpan benih, menaman kembali benih dan menjual benih yang disimpan. Pada prinsipnya, adalah penting bagi petani untuk mempertahankan kontrol berhadap varietas tanaman sehingga mereka dapat lebih lanjut melakukan inovasi, memperbaiki varietas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang berubah.

Namun, ketika HKI diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, pemegang hak kesulitan untuk mengontrol kemampuan yang dimiliki oleh petani untuk menyimpan dan menanam kembali benih-benih. Penegakan HKI di negara-negara berkembang tidak seperti yang ada di Amerika Serikat di mana PVT seringkali dukung oleh kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum kontrak. Kondisi seperti ini memunculkan dditerapkannnya teknologi-teknologi yang terkait dengan penggunaan gen. Teknologi ini, seperti terminator teknologi, merupakan suatu tantangan baru karena menyediakan alat bagi pemegang hak paten untuk menjamin bahwa petani secara penuh mengormati hak-hak PVT.

Dengan diterapkannya terminator teknologi ini, maka petani tidak bisa menanam kembali benih yang dihasilkan dari panennya karena benih tersebut hanya bisa tumbuh untuk sekali tanam. Hal ini mengakibatkan ketergantungan petani pada benih yang dikembangkan oleh perusahaan perbenihan. Hal ini juga berarti menggantungkan ketahanan pangan hanya pada segelintir perusahaan perbenihan.

Tantangan dari penguatan HKI di bidang pertanian juga menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan hak-hak atas pangan. Dalam perspektif yang lebih luas, dampak dari HKI dapat di bandingkan dengan dampak yang lebih luas dari globalisasi dibidang pertanian. Sebagai mana dicatat oleh FAO bahwa globalisasi mempunyai sejumlah dampak yang positif tetapi pada saat yang sama berpotensi menyumbangkan lemahnya komunitas-komunitas tertentu dan negara. Dengan kata lain, potensi varietas tanaman transgenik untuk mempercepat ketahanan pangan adalah berkaitan dengan mekanisme pengembangan untuk mempercepat transfer varietas tersebut, dan cara-cara untuk menjamin bahwa varietas tersebut dapat dijangkau oleh petani yang miskin.

Selanjutnya, penguatan HKI dibidang pertanian juga menimbulkan keprihatinan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan. Pertama, keprihatinan yang berkaitan dengan ‘over patentability’ dalam industri bioteknologi yang kemungkinan berpotensi untuk menghambat inovasi di sektor publik dan swasta dibanding dengan mempromosikan inovasi. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka, perlindungan HKI dibidang pertanian di negara-negara berkembang harus diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya untuk menjamin bahwa penelitian dan pengembangan juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang miskin.

3. Bagaimana Petani Perlu Menyikapi ini?
Dalam kondisi seperti ini memang petani berada pada posisi yang tidak diuntungkan. Namun, bukan berarti berpasrah diri terhadap kondisi dan sistem yang tidak berpihak kepada mereka. Ada beberapa hal-hal bisa dilakukan oleh petani, yaitu: Pertama, belajar agar mengetahui bagaimana cara ketiga UU diatas bekerja, sehingga aktifitas mereka tidak sampai melanggar ketiga UU tersebut. Namun, pendekatan ini juga belum menyelesaikan permasalahan. Karena untuk bidang bioteknologi ini, pelanggar pasif juga bisa dituduhkan ke petani sepanjang jika memang bisa dibuktikan.

Kedua, adalah penting untuk dicatat adalah bahwa UU atau sistem apapun adalah produk manusia yang bisa dirubah. Untuk itu, petani melalui asosiasi dan didukung oleh berbagai stake holders yang terkait untuk bersama-sama memperjuangkan agar ketiga UU tersebut dimodifikasi. UU PVT perlu dirubah untuk atau dimodifikasi dengan mengembangkan sistem perlindungan yang fair dan seimbang antara hak-hak petani dan hak-hak pemulia. UU paten juga perlu dirubah agar perlindungan paten tidak berlebihan dan lebih fair. Demikian juga halnya dengan UU SBT, harus memberikan pengakuan terhadap benih yang dikembangkan oleh petani, dllnya.

Penting pula untuk dipertimbangkan bahwa beberapa negara juga telah memberikan perlindungan yang proporsianal dan seimbang antara hak-hak pemulia dan hak-hak petani. India misalnya, memberikan perlindungan hak-hak pemulia dan hak-hak petani dalam satu UU. Untuk hak pemulia mengacu pada UPOV, sedangkan hak petani, India mendesain sendiri sesuai dengan kebutuhan dan budaya pertaniannya. Di India, ketentuan yang sangat penting berkaitan dengan petani adalah pengakuan bahwa hak petani merupakan HKI. Konsep ini bertentangan dengan persepsi umum bahwa pengetahuan petani adalah tradisional dan merupakan bagian dari warisan bersama, karena itu tidak dapat dilindungi dalam sistem HKI. Pengakuan ini diwujudkan dalam penetapan pembagian keuntungan dan kompensasi bagi petani atas perannya sebagai pengkonservasi dan pelindung hak-hak tradisionalnya. Bahkan UU India ini secara jelas menetapkan bahwa ‘keistimewaan’ (privilage) yang diberikan kepada petani tersebut dianggap sebagai hak (right).

Adapun bagian-bagian yang penting lainnya adalah :
Section 39 (IV) yang menetapkan bahwa petani harus dianggap berhak untuk menyimpan, menanam, menanam kembali, menukarkan, membagi atau menjual produk yang berasal dari lahannya termasuk benih dari varietas yang dilindungi dalam UU ini dengan cara yang sama sebagaimana dia berhak sebelum berlakunya UU ini; Namun petani tidak berhak untuk menjual benih yang bermerek dari suatu varietas yang dilindungi berdasarkan UU ini.

India juga memberikan perlindungan untuk pelanggaran yang tidak sengaja sebagaimana dalam section 42.
(1) sebuah hak yang ditetapkan dalam UU ini harus dianggap tidak dilanggar oleh petani yang pada saat pelanggaran itu dia tidak sadar akan adanya keberadaan hak yang seperti itu.

Selanjutnya, UU juga secara tegas melarang pendaftaran varietas yang melibatkan teknologi yang membahayakan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan. Termasuk dalam karegori teknologi ini adalah genetically use restriction technology (GURT) atau terminator teknologi.

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Senin, 06 April 2009

0 komentar

Posting Komentar

Aliansi Petani Indonesia

Subscribe here

Lagu-lagu Perjuangan Petani Organik API

Dokumentasi