[ DIALOG PETANI DAN MUNAS API MENGENAI BENIH SERTA KAITANNYA DENGAN KETAHANAN PANGAN ]
Jakarta, 10 – 13 Februari 2009
Industrialisasi pertanian yang digulirkan pemerintah Indonesia sejak dua decade terakhir, ternyata tidak serta merta membawa kehidupan petani beranjak membaik dari sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, baik itu secara kualitas maupun kuantitas, mulai dari proses system budidaya pertanian yang dikembangkan sampai pada produk pertanian yang dihasilkan.
Fakta yang terjadi di lapangan, masalah yang dihadapi petani kini kian kompleks, bila dibandingkan sebelum terjadinya industrialisasi pertanian. Penggunaan produk pertanian hasil pabrikan secara berkelanjutan oleh petani seperti benih hybrida, pupuk kimia, pestisida dan produk pertanian lainnya, membuat ketergantungan petani yang luar biasa terhadap produk pertanian tersebut. Sehingga petani kehilangan kreasi dalam menghasilkan produk pertanian mereka.
Penggunaan produk pertanian pabrikan juga telah merusak ekosistem lahan pertanian petani seperti, semakin berkurangnya unsur hara tanah, hilangnya mikroorganisme pendukung ekosistem pertanian, munculnya hama jenis baru yang resisten terhadap pestisida, sampai pada bahayanya penggunaan pestisida secara terus menerus bagi kesehatan petani. Beragam permasalahan itulah yang muncul kepermukaan dalam dialog petani dan kongres Aliansi Petani Indonesia (API) yang membahas mengenai benih, kaitannya dengan ketahanan pangan nasional.
Lebih lanjut, khusus untuk persoalan benih pertanian, dalam dialog petani dan kongres API dibahas, bahwa permasalahan benih mulai mengemuka sejak disahkannya undang – undang Sistem Budidaya Tanaman (SBT) tahun 1992 dan Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT) tahun 2000 silam. Lahirnya UU SBT merupakan legalisasi hukum bagi rezim orde baru ketika itu dalam melakukan industrialisasi pertanian, dalam UU tersebut tata kelola benih dan pemuliaannya telah diatur sedemikian rupa, yang menempatkan petani hanya sebagai objek kebijakan pertanian yang pro-pasar. .Sementara UU PVT merupakan konsekuensi logis dari keanggotaan Indonesia dalam WTO dan menindaklanjuti kesepakatan TRIPS mengenai patenisasi benih/varietas tanaman.
Para petani pada dialog dan kongres API berpendapat, kedua produk UU ini merupakan cermin tidak berpihaknya pemerintah kepada.petani. Dalam kedua UU ini menegaskan pemulia benih haruslah memiliki infrastruktur penelitian, pengujian dan pengembangan suatu varietas.
Sementara minimnya sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan tata kelola benih kepada petani, tidak adanya pendidikan dan pelatihan pemuliaan benih tanaman kepada petani oleh pemerintah, tidak berfungsinya penyuluh pertanian lapangan dalam mendampingi petani, berdampak pada ketidaktahuan petani tentang adanya peraturan mengenai tata kelola benih. Kondisi ini berimplikasi pada banyaknya petani yang harus tersandung masalah hukum karena ketidaktahuannya tersebut, seperti diungkapkan pak Burhana dkk dalam dialog petani, “di tahun 2005 kami harus diajukan ke meja hijau dan mendekam di balik jeruji besi selama lima bulan karena pemuliaan benih Jagung yang kami lakukan di daerah Kabupaten Kediri.”
Lebih lanjut ia menjelaskan, tindakannya dianggap telah merugikan PT BISI, sebuah perusahaan multinasional yang memproduksi benih jagung. Padahal pemuliaan benih jagung yang dilakukan para petani kediri terjadi untuk mendapatkan harga benih jagung yang lebih murah, sebab harga benih jagung yang di jual oleh PT. BISI harganya mahal. Hal ini menjadi bukti UU SBT dan PVT hanya diperuntukkan untuk kepentingan pemulia benih komersil (perusahaan pemilik modal besar) dalam melindungi paten benihnya. Pak Burhana sendiri sebelumnya adalah karyawan PT. BISI. Menurut pengakuannya PT BISI melarang bagi karyawannya untuk membagi pengetahuan maupun teknologi benih yang di dapatnya dari perusahaan sampai tujuh generasi.
Selanjutnya, guna melindungi hak –hak petani atas benih dan pemuliaannya, dalam dialog petani itu Prof. Agus Sardjono, ahli hukum paten benih dari Universitas Indonesia yang bertindak sebagai pembicara pada acara tersebut, meminta petani untuk segera mendaftarkan benih local maupun benih temuan petani diwilayahnya masing –masing untuk melindungi varietas milik petani agar tidak sampai di klaim oleh perusahaan besar yang memproduksi benih . Hal inilah yang saat ini dilakukan pak warsia bersama kelompok tani asal Kabupaten Indramayu. Dengan membentuk sekolah lapangan bagi petani untuk pemuliaan benih dan memberikan pengetahuan hukum tentang peraturan benih dan pemuliaannya.Menurutnya saat ini ia telah menghasilkan 39 benih varietas baru untuk tanaman padi untuk kondisi lahan yang berbeda-beda. Pak Warsia juga berhasil mendorong terbentuknya peraturan desa yang melindungi benih milik petani.
Dari dialog petani dan kongres API yang membahas masalah perbenihan, disepakati lima rekomendasi kerja yang harus dilakukan API guna melindungi hak petani atas benih dan hasil pemuliaannnya, yakni :
Fakta yang terjadi di lapangan, masalah yang dihadapi petani kini kian kompleks, bila dibandingkan sebelum terjadinya industrialisasi pertanian. Penggunaan produk pertanian hasil pabrikan secara berkelanjutan oleh petani seperti benih hybrida, pupuk kimia, pestisida dan produk pertanian lainnya, membuat ketergantungan petani yang luar biasa terhadap produk pertanian tersebut. Sehingga petani kehilangan kreasi dalam menghasilkan produk pertanian mereka.
Penggunaan produk pertanian pabrikan juga telah merusak ekosistem lahan pertanian petani seperti, semakin berkurangnya unsur hara tanah, hilangnya mikroorganisme pendukung ekosistem pertanian, munculnya hama jenis baru yang resisten terhadap pestisida, sampai pada bahayanya penggunaan pestisida secara terus menerus bagi kesehatan petani. Beragam permasalahan itulah yang muncul kepermukaan dalam dialog petani dan kongres Aliansi Petani Indonesia (API) yang membahas mengenai benih, kaitannya dengan ketahanan pangan nasional.
Lebih lanjut, khusus untuk persoalan benih pertanian, dalam dialog petani dan kongres API dibahas, bahwa permasalahan benih mulai mengemuka sejak disahkannya undang – undang Sistem Budidaya Tanaman (SBT) tahun 1992 dan Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT) tahun 2000 silam. Lahirnya UU SBT merupakan legalisasi hukum bagi rezim orde baru ketika itu dalam melakukan industrialisasi pertanian, dalam UU tersebut tata kelola benih dan pemuliaannya telah diatur sedemikian rupa, yang menempatkan petani hanya sebagai objek kebijakan pertanian yang pro-pasar. .Sementara UU PVT merupakan konsekuensi logis dari keanggotaan Indonesia dalam WTO dan menindaklanjuti kesepakatan TRIPS mengenai patenisasi benih/varietas tanaman.
Para petani pada dialog dan kongres API berpendapat, kedua produk UU ini merupakan cermin tidak berpihaknya pemerintah kepada.petani. Dalam kedua UU ini menegaskan pemulia benih haruslah memiliki infrastruktur penelitian, pengujian dan pengembangan suatu varietas.
Sementara minimnya sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan tata kelola benih kepada petani, tidak adanya pendidikan dan pelatihan pemuliaan benih tanaman kepada petani oleh pemerintah, tidak berfungsinya penyuluh pertanian lapangan dalam mendampingi petani, berdampak pada ketidaktahuan petani tentang adanya peraturan mengenai tata kelola benih. Kondisi ini berimplikasi pada banyaknya petani yang harus tersandung masalah hukum karena ketidaktahuannya tersebut, seperti diungkapkan pak Burhana dkk dalam dialog petani, “di tahun 2005 kami harus diajukan ke meja hijau dan mendekam di balik jeruji besi selama lima bulan karena pemuliaan benih Jagung yang kami lakukan di daerah Kabupaten Kediri.”
Lebih lanjut ia menjelaskan, tindakannya dianggap telah merugikan PT BISI, sebuah perusahaan multinasional yang memproduksi benih jagung. Padahal pemuliaan benih jagung yang dilakukan para petani kediri terjadi untuk mendapatkan harga benih jagung yang lebih murah, sebab harga benih jagung yang di jual oleh PT. BISI harganya mahal. Hal ini menjadi bukti UU SBT dan PVT hanya diperuntukkan untuk kepentingan pemulia benih komersil (perusahaan pemilik modal besar) dalam melindungi paten benihnya. Pak Burhana sendiri sebelumnya adalah karyawan PT. BISI. Menurut pengakuannya PT BISI melarang bagi karyawannya untuk membagi pengetahuan maupun teknologi benih yang di dapatnya dari perusahaan sampai tujuh generasi.
Selanjutnya, guna melindungi hak –hak petani atas benih dan pemuliaannya, dalam dialog petani itu Prof. Agus Sardjono, ahli hukum paten benih dari Universitas Indonesia yang bertindak sebagai pembicara pada acara tersebut, meminta petani untuk segera mendaftarkan benih local maupun benih temuan petani diwilayahnya masing –masing untuk melindungi varietas milik petani agar tidak sampai di klaim oleh perusahaan besar yang memproduksi benih . Hal inilah yang saat ini dilakukan pak warsia bersama kelompok tani asal Kabupaten Indramayu. Dengan membentuk sekolah lapangan bagi petani untuk pemuliaan benih dan memberikan pengetahuan hukum tentang peraturan benih dan pemuliaannya.Menurutnya saat ini ia telah menghasilkan 39 benih varietas baru untuk tanaman padi untuk kondisi lahan yang berbeda-beda. Pak Warsia juga berhasil mendorong terbentuknya peraturan desa yang melindungi benih milik petani.
Dari dialog petani dan kongres API yang membahas masalah perbenihan, disepakati lima rekomendasi kerja yang harus dilakukan API guna melindungi hak petani atas benih dan hasil pemuliaannnya, yakni :
- Pendidikan dan pelatihan berupa sekolah lapangan bagi petani untuk pemuliaan benih di wilayah basis petani yang bertujuan terjadinya swasembada benih petani.
- b. Sosialisasi UU PVT dan peraturan yang terkait dengan perbenihan di wilayah basis petani.
- Melakukan advokasi kebijakan untuk terbentuknya peraturan daerah (perda) sampai peraturan desa (perdes) yang melindungi hak-hak petani atas benih dan pemuliaannya.
- Judicial review UU Sistem Budidaya Tanaman.
- Judicial review UU Perlindungan Varietas Tanaman.
0 komentar