Pengikut

Oleh. Prof. Dr. Agus Sardjono

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.

Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.

Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.

Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.

2. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.

3. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.

4. Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.

Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan. Dan itu terjadi pada kasus yang melibatkan petani kecil di Jawa Timur.

Adalah Budi Purwo Utomo yang menjadi korban ketidakadilan lembaga peradilan. Ia adalah seorang petani kecil di Kediri yang mencoba berinisiatif mengembangkan benih jagung. Ironisnya, upayanya untuk mengembangkan benih jagung berujung pada hukuman pidana yang ditetapkan oleh pengadilan dari semua tingkatan. Ketidakadilan terjadi karena hukuman dijatuhkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.

Duduk masalah dan komentar
Kasusnya bermula ketika Budi diadili oleh Pengadilan Negeri Kediri atas tuduhan melakukan sertifikasi benih jagung (Putusan Pengadilan Negeri Kediri No. 516/Pid.B/2005PN.Kdi).
Budi didakwa melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Rumusan dakwaan Jaksa No. Reg.Perkara: PDM-800/KDIRI/0705, adalah sbb:

“terdakwa melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin dalam hal melakukan pembenihan jagung varietas Bisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman”.

Ancaman pidananya didasarkan pada 55 ayat (1) KUHP juncto Pasal 61 ayat (1) huruf b UU RI No, 12 Tahun 1992.

Pasal 55 ayat (1) KUHP berbunyi:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, (i) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu.”
Pasal 61 ayat (1b) UU No. 12 Tahun 1992 berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).”

Di dalam amar putusannya, Hakim memutuskan sbb:
“Menyatakan terdakwa Budi Purwo Utomo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: turut serta dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.”
Fokus utama tindak pidana ini adalah: barang siapa dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.

Apa yang dimaksud dengan sertifikasi telah diatur dengan tegas di dalam UU No. 12 Tahun 1992, Pasal 1 butir 6:
“Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang harus dibuktikan adalah: apakah terdakwa melakukan kegiatan memberikan atau menerbitkan sertifikat benih tanaman?
Di dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1992 sangat jelas ditentukan bahwa: sertifikasi dilakukan oleh Pemerintah. Namun Pemerintah dapat pula memberikan ijin kepada perorangan atau badan hukum untuk menerbitkan sertifikat benih tanaman. Untuk memperoleh ijin tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Apa yang dilakukan oleh Budi sebagai terdakwa?

Di dalam putusan hakim, khususnya di bagian pertimbangan hukum (menimbang), halaman 34 ditegaskan sbb:
“Menimbang, bahwa oleh karena itu perbuatan penangkaran benih jagung hibrida yang dilakukan oleh terdakwa yang bekerja sama dengan para saksi tersebut merupakan bagian dari kegiatan sertifikasi.”

Kesimpulan hakim tersebut sungguh menggelikan. Bagaimana mungkin kegiatan penangkaran benih disimpulkan sebagai kegiatan sertifikasi, padahal di dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 12 Tahun 1992 dengan tegas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sertifikasi adalah: adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.

Dengan alasan itulah Budi melalui Pembelanya mengajukan Kasasi, bahwa Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri telah salah dalam menerapkan hukum. Namun apa yang terjadi di dalam putusan Kasasi yang dimaksud? Dalam Putusan Kasasi No. 783.K/Pid/2007 atas perkara Budi Purwo Utomo tersebut justru kembali tercipta ketidakadilan yang cukup serius bagi Budi.
Putusan Kasasi dibuat berdasarkan permohonan kasasi, baik dari Penuntut Umum maupun dari Terdakwa dalam perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Negeri Kediri No. 516/PID.B/2005/PN.Kdi, pada tanggal 13 Januari 2006.

Kronologi putusannya adalah sbb:

1. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri tersebut, terdakwa Budi Purwo Utama dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: turut serta dengan sengaja melakukan sertifikasi tanpa ijin.
2. Berdasarkan pernyataan tersebut, terdakwa dihukum 6 bulan percobaan 1 tahun.
3. Terhadap putusan tersebut, Penuntut Umum mengajukan banding atas pengenaan hukuman yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
4. Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kediri tersebut.
5. Terhadap putusan Pengadilan Tinggi, baik Penuntut Umum maupun Terdakwa sama-sama mengajukan Kasasi.
6. Permohonan Kasasi Penuntut Umum berdasarkan alasan bahwa pengenaan hukum tidak memenuhi rasa keadilan.
7. Permohonan Kasasi Terdakwa pada Keberatan Kedua menyatakan bahwa Judex Factie telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya atau ada hukum yang tidak diterapkan.
8. Dalil-dalil Terdakwa adalah bahwa Judex Factie telah salah dalam mengartikan/ memahami uraian unsur “Sertifikasi Tanpa Ijin”. Dan oleh karena itu telah salah pula dalam penerapan hukumnya ke dalam kasus a-quo. Beberapa alasan Kasasi Terdakwa antara lain:
a. Judex Factie telah mengartikan/menyimpulkan bahwa penangkaran benih jagung atau memproduksi benih jagung tanpa ijin merupakan bagian dari kegiatan “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
b. Bahwa pengertian Judex Factie mengenai “Sertifikasi Tanpa Ijin” sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 adalah salah;
c. Bahwa ada beberapa hal (yang harus dibuktikan) jika kita akan menyatakan Terdakwa melakukan kegiatan “Sertifikasi”, yaitu:
i. Benarkah Terdakwa berniat menerbitkan “Sertifikat Benih Tanaman”?
ii. Benarkah Terdakwa telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan niatnya menerbitkan Sertifikat Benih Tanaman?
iii. Benarkah Terdakwa telah menyediakan atau sekurang-kurangnya berupaya menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan guna melakukan pemeriksaan dan pengujian atas benih-benih tanaman yang dimohonkan kepadanya oleh Pemohon Sertifikat untuk diterbitkannya Sertifikat Benih tersebut?

Namun Judex Factie tidak membuktikan bahwa Terdakwa melakukan hal-hal demikian.
d. Bahwa pengertian Sertifikasi yang benar adalah proses pemberian Sertifikat Benih Tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi persyaratan untuk diedarkan (vide: Pasal 1 butir 6 UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman). Dengan demikian unsur pokok dan terpenting dari Sertifikasi itu sendiri adalah pemberian Sertifikat Benih Tanaman. Adapun pemberian Sertifikat Benih Tanaman tersebut setelah dilakukan atau didahului dengan beberapa tahapan, di antaranya adalah: pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan.

e. Berdasarkan keterangan saksi-saksi telah terbukti bahwa saksi tidak tahu atau tidak melihat Terdakwa melakukan kegiatan pemeriksaan, pengujian laboratorium dan pemasangan label serta pengeluaran sertifikat benih tanaman. Oleh karena itu Penasehat Hukum Terdakwa yakin yang dilakukan Terdakwa memang bukan dalam konteks melakukan sertifikasi yang meliputi proses kegiatan pemeriksaan, pengujian laboratorium dan pemasangan label serta pengeluaran sertififikat benih. Semua tahapan tersebut harus dipenuhi untuk menyatakan Terdakwa melakukan sertifikasi.

f. Menurut keterangan saksi ahli M. Najih di persidangan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sertifikasi tanpa ijin adalah bila perorangan atau badan hukum yang tidak mempunyai kewenangan (ijin Menteri) telah mengeluarkan Sertifikat Benih Tanaman. Seseorang yang hanya menanam jagung saja tidak bisa dikatakan melakukan kegiatan sertifikasi.

g. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan ahli maka telah dapat dibuktikan bahwa Terdakwa yang hanya menanam jagung adalah tidak termasuk melakukan kegiatan sertifikasi tanpa ijin sebagaimana dimaksud Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman.

9. Keberatan Ketiga dalam Permohonan Kasasi Terdakwa menyebutkan bahwa PN Kediri telah menyinggung Hak Perlindungan Varietas Tanaman dari PT BISI sebagaimana ternyata dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri halaman 33 yang isinya: “Menimbang bahwa hasil persilangan tanaman jagung FS4 dan FS9 menghasilkan jagung hibrida BISI-2 yang merupakan jenis jagung unggul telah memperoleh sertifikasi dari Departemen Pertanian dan varietas tanaman jagungnya telah dilepas oleh Menteri Pertanian/Pemerintah untuk diedarkan dan karenanya juga mendapatkan Hak Perlindungan Varietas Tanaman (Hak PVT) sesuai UU No. 29 Tahun 2000.

10. Pertanyaan Kuasa Hukum Terdakwa adalah: dari manakah dasar putusan Hakim yang menyatakan bahwa jagung FS4 dan FS6 telah mendapatkan Hak Perlindungan Varietas Tanaman (Hak PVT), padahal saksi-saksi Sugian, Hadi Winarno, Suryo dan Triono Hardianto menyatakan saat ini PT BISI belum mempunyai Hak Perlindungan Varietas Tanaman (Hak PVT), sedangkan saksi Jumidi, Khusen, Dawam, dan Slamet menyatakan tidak tahu?.

11. Dalam perkara a-quo yang paling mungkin didakwakan kepada Terdakwa adalah pelanggaran terhadap Hak PVT yang dimiliki PT BISI yang dilindungi berdasarkan UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Namun sebelum memutuskan adanya pelanggaran Hak PVT terlebih dahulu harus dibuktikan kepemilikan Hak PVT berdasarkan tanda bukti Hak PVT yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian c.q. Kantor Perlindungan Varietas Tanaman. Selain itu juga harus diuraikan dan dibuktikan dalam proses pengadilan tentang bagian mana dari Hak PVT yang dilanggar Terdakwa. Pada perkara a-quo jelas bahwa Judex Factie tidak menggunakan UU No. 29 Tahun 2000 sebagai dasar untuk memutuskan pelanggaran tersebut, akan tetapi Judex Factie menggunakan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, khususnya Pasal 61 ayat (1) huruf b tentang Sertifikasi Tanpa Ijin, yang justru merupakan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Terdakwa.

Dalil-dalil Kuasa Hukum Terdakwa cukup mengena untuk diungkapkan sebagai alasan untuk menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Kediri telah salah dalam menerapkan undang-undang. Sayang sekali bahwa para Hakim Agung sepertinya tidak memperhatikan dalil-dalil tersebut. Hakim-hakim Agung justru memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Alasan-alasan Pemohon Kasasi/Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah dalam menerapkan hukum.

2. Alasan-alasan Pemohon Kasasi/Penuntut Umum juga tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah dalam menerapkan hukum.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Permohonan Kasasi dari Terdakwa dan Penuntut Umum harus ditolak.

Kiranya dapat dibaca dengan jelas bahwa putusan Kasasi tersebut merupakan putusan paling ajaib yang telah dibuat Hakim Kasasi. Dalam putusan itu Hakim tidak memberikan argumentasi apapun untuk menyatakan bahwa alasan-alasan atau dalil-dalil Pemohon Kasasi, khususnya dari Terdakwa, adalah tidak benar. Padahal alasan-alasan atau dalil-dalil Pemohon Kasasi/Terdakwa cukup baik dan memberikan pencerahan bagaimana seharusnya membuktikan unsur-unsur pidana yang dituduhkan kepada seorang Terdakwa. Seharusnya Hakim Kasasi menguji terlebih dahulu di mana kekeliruan dalil-dalil Pemohon Kasasi/terdakwa sebelum menyatakan alasan-alasan Terdakwa tidak dapat dibenarkan. Hakim Kasasi harus membuktikan ketidak benaran alasan-alasan tersebut dengan argumentasi hukum yang baik dan benar. Hal ini tidak dilakukan oleh Hakim Kasasi tersebut. Dengan demikian, Putusan Kasasi ini merupakan preseden yang sangat buruk, di mana Hakim memutuskan hukuman bagi seseorang tanpa memberikan argumentasi hukum apapun. Kiranya putusan Kasasi tersebut telah menciderai rasa keadilan masyarakat, dan menunjukkan betapa buruknya proses penegakan hukum di Indonesia. Hakim Kasasi telah menunjukkan kepada publik betapa tidak profesionalnya dalam menangani perkara. Pantas jika lembaga peradilan Indonesia tidak dipercaya lagi oleh para pencari keadilan.

Budi Purwo Utomo adalah korban dari penerapan hukum yang tidak benar dan tidak adil. Jika ketidakadilan justru diciptakan oleh Hakim-hakim Agung sebagai pemegang kewenangan tertinggi yang memutuskan dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, maka ke mana lagi para petani kecil mencari keadilan? Haruskah petani menunggu sampai pada “sidang pengadilan di padang Mahsyar”, di hadapan Tuhan Yang Maha Adil? Sungguh tragis.***

Diposting oleh Aliansi Petani Indonesia Minggu, 08 Februari 2009

0 komentar

Posting Komentar

Aliansi Petani Indonesia

Subscribe here

Lagu-lagu Perjuangan Petani Organik API

Dokumentasi