BANTUL, KOMPAS.com - Masih ada petani yang melestarikan benih padi varietas lokal dan berkreasi menyilangkan varietas lokal. Mereka cukup sukes. Ini jangan dihancurkan pemerintah dengan menggelontorkan subsidi benih dan impor benih.
Demikian dikatakan Witoro, aktivis dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan yang juga steering comittee Benih Padi 2009, di kompleks Stella Duce, Ganjuran, Bambanglipuro Bantul, Jumat (17/4).
"Petani tak pernah dipandang punya kemampuan dan punya kreativitas. Ketika subsidi benih diluncurkan, itu sama saja dengan tak percaya petani dan mencekoki petani dengan sesuatu yang tidak perlu. Mengapa harus diberi subsidi benih? Apakah semua daerah bisa ditanami varietas padi yang sama? Tidak, kan?" ujar Witoro
Semua pasti pernah mendengar padi varietas rojolele atau pandan wangi. Tapi nyaris tak ada yang mengenal padi varietas Simenep. Atau siapa yang tahu bahwa beras dari padi Simenep seenak rojolele, bahkan tanamannya lebih bagus dan tahan wereng ketimbang rojolele.
Hanya segelintir orang tahu padi varietas Simenep yang masih ditanam di wilayah Nanggulan, Kulo Progo, DIY. Di wilayah itu pun, hanya sejumlah petani yang menanamnya. Simenep memang tak setenar rojolele, karena tak sempat dan tak pernah naik daun.
Simenep dan beberapa varietas lokal dari Kulon Progo, selama ini hanya dikonsumsi sendiri. "Enggak pernah dijual karena tidak laku," begitu kata Hendrastuti (52), Ketua Kelompok Tani Margo Rukun di Dusun Turus, Nanggulan, Kulon Progo, Jumat (17/4).
Hendrastuti lantas menerangkan beberapa varietas lokal yang cukup enak untuk dikonsumsi, seperti Srimulih, Andel Jaran, Ketan Lusi, Ekor Kuda, hingga Gropak. Dalam Festival Benih Padi 2009 yang dilangsungkan Jumat dan Sabtu di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, ini, benih-benih padi varietas lokal dikenalkan.
"Yang ini adalah varietas Srimulih. Berasnya mirip IR 64, baik bentuk maupun rasanya. Kelebihan Srimulih adalah, jika menyantap, awet kenyangnya. Beras IR, nggak bisa awet kenyangnya. Tanaman padi Srimulih juga nggak manja," ujar Hendrastuti yang juga sebagai Koordinator Umum Jaringan Petani Kulon Progo ini.
Apa yang disampaikan Hendrastuti, adalah gambaran bahwa benih-benih lokal, belum mendapat tempat di hati masyarakat. Jika ditarik ke belakang, ini adalah salah siapa? Mengapa benih-benih lokal yang bagus dan tahan hama, tidak pernah terorbit? Demikian juga benih-benih lokal hasil silangan, tak pernah muncul di permukaan?
Di sisi lain, pemerintah masih cenderung mengeluarkan kebijakan jangka pendek seperti impor benih dan subsidi benih. Untuk tahun 2009, pemerintah mengalokasikan impor benih yakni 25.000 ton benih padi nonhibrida (untuk areal 1 juta hektar) dan 5.552 ton padi hibrida (untuk 370.000 hektar).
Pengalaman dari kelompok-kelompok tani membuktikan bahwa benih lokal lebih disukai karena lebih berkualitas. Penolakan petani terhadap benih hibrida, mestinya sudah memberi pelajaran bagi pemerintah: petani harus didukung dalam hal kedaulatan benih.
Warsiyah (50) dan Darmin (49) dari Indramayu Jawa Barat telah mengumpulkan varietas benih padi lokal Indramayu sejak tahun 2002. "Untuk merintis pengumpulan benih yang telah berusia ratusan tahun itu, Darmin bahkan mengadakan sayembara. Siapa saja yang bisa menyerahkan benih lokal diberi Rp 10.000 Rp 15.000," katanya.
Sampai sekarang, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 30 varietas benih lokal seperti gundil, jalawara, cengkong, glewang, warong, dan jambon. Benih-benih itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Benih-benih lokal itu kemudian disilangkan satu sama lain. Sampai sekarang, Warsiyah mengaku sudah menghasilkan lebih dari 110 varietas baru. Namun, ia belum berhenti sampai menemukan varietas idaman seperti yang ia harapkan.
Varietas idaman itu adalah tah an kurang air, tahan hama, produktivitas tinggi dan umur panennya pendek. Tak bisa dimungkiri, titik lemah padi lokal, salah satunya adalah berumur lama, sekitar 120 hari. Beda dengan beras konsumsi lain yang hanya perlu 90 hari.
Sebuah varietas baru yang belum diberi nama, lanjut Warsiyah, menghasilkan lebih banyak padi dibanding varietas IR 64. "Satu hektar sawah yang ditanami varietas IR 64 menghasilkan 5,5 6,5 ton padi, namun saat ditanami varietas baru hasilnya bisa mencapai 8 9 ton. Benih dari pabrik rakus lahan dan rakus pupuk, juga sering tidak cocok dengan tanah," ujarnya.
Gatot Surono, sesepuh Paguyuban Tani Hari Pangan Sedunia Purbalingga, mengatakan, salah satu varietas silangan yang dibanggakan adalah mutiara. Mutiara yang disilangkan sejak lima tahun ini, adalah hasil persilangan antara padi wulung dari Garut dan pandan wangi dari Cianjur, Jawa Barat.
Padi wulung, tanamannya bagus dan tahan hama namun rasa berasnya agak keras. Sedangkan pandan wangi harum dan enak, tapi tanamannya ringkih. Ada empat jenis hasil silangan, dan Mutiara adalah salah satu dari empat hasil silangan. Mutiara ini, adalah perpaduan sifat baik padi wulung dan pandan wangi, terang Gatot. [oleh: Lukas Adi Prasetya dan Idha Saraswati]
Source Kompas.com/Jumat, 17 April 2009
Demikian dikatakan Witoro, aktivis dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan yang juga steering comittee Benih Padi 2009, di kompleks Stella Duce, Ganjuran, Bambanglipuro Bantul, Jumat (17/4).
"Petani tak pernah dipandang punya kemampuan dan punya kreativitas. Ketika subsidi benih diluncurkan, itu sama saja dengan tak percaya petani dan mencekoki petani dengan sesuatu yang tidak perlu. Mengapa harus diberi subsidi benih? Apakah semua daerah bisa ditanami varietas padi yang sama? Tidak, kan?" ujar Witoro
Semua pasti pernah mendengar padi varietas rojolele atau pandan wangi. Tapi nyaris tak ada yang mengenal padi varietas Simenep. Atau siapa yang tahu bahwa beras dari padi Simenep seenak rojolele, bahkan tanamannya lebih bagus dan tahan wereng ketimbang rojolele.
Hanya segelintir orang tahu padi varietas Simenep yang masih ditanam di wilayah Nanggulan, Kulo Progo, DIY. Di wilayah itu pun, hanya sejumlah petani yang menanamnya. Simenep memang tak setenar rojolele, karena tak sempat dan tak pernah naik daun.
Simenep dan beberapa varietas lokal dari Kulon Progo, selama ini hanya dikonsumsi sendiri. "Enggak pernah dijual karena tidak laku," begitu kata Hendrastuti (52), Ketua Kelompok Tani Margo Rukun di Dusun Turus, Nanggulan, Kulon Progo, Jumat (17/4).
Hendrastuti lantas menerangkan beberapa varietas lokal yang cukup enak untuk dikonsumsi, seperti Srimulih, Andel Jaran, Ketan Lusi, Ekor Kuda, hingga Gropak. Dalam Festival Benih Padi 2009 yang dilangsungkan Jumat dan Sabtu di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, ini, benih-benih padi varietas lokal dikenalkan.
"Yang ini adalah varietas Srimulih. Berasnya mirip IR 64, baik bentuk maupun rasanya. Kelebihan Srimulih adalah, jika menyantap, awet kenyangnya. Beras IR, nggak bisa awet kenyangnya. Tanaman padi Srimulih juga nggak manja," ujar Hendrastuti yang juga sebagai Koordinator Umum Jaringan Petani Kulon Progo ini.
Apa yang disampaikan Hendrastuti, adalah gambaran bahwa benih-benih lokal, belum mendapat tempat di hati masyarakat. Jika ditarik ke belakang, ini adalah salah siapa? Mengapa benih-benih lokal yang bagus dan tahan hama, tidak pernah terorbit? Demikian juga benih-benih lokal hasil silangan, tak pernah muncul di permukaan?
Di sisi lain, pemerintah masih cenderung mengeluarkan kebijakan jangka pendek seperti impor benih dan subsidi benih. Untuk tahun 2009, pemerintah mengalokasikan impor benih yakni 25.000 ton benih padi nonhibrida (untuk areal 1 juta hektar) dan 5.552 ton padi hibrida (untuk 370.000 hektar).
Pengalaman dari kelompok-kelompok tani membuktikan bahwa benih lokal lebih disukai karena lebih berkualitas. Penolakan petani terhadap benih hibrida, mestinya sudah memberi pelajaran bagi pemerintah: petani harus didukung dalam hal kedaulatan benih.
Warsiyah (50) dan Darmin (49) dari Indramayu Jawa Barat telah mengumpulkan varietas benih padi lokal Indramayu sejak tahun 2002. "Untuk merintis pengumpulan benih yang telah berusia ratusan tahun itu, Darmin bahkan mengadakan sayembara. Siapa saja yang bisa menyerahkan benih lokal diberi Rp 10.000 Rp 15.000," katanya.
Sampai sekarang, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 30 varietas benih lokal seperti gundil, jalawara, cengkong, glewang, warong, dan jambon. Benih-benih itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Benih-benih lokal itu kemudian disilangkan satu sama lain. Sampai sekarang, Warsiyah mengaku sudah menghasilkan lebih dari 110 varietas baru. Namun, ia belum berhenti sampai menemukan varietas idaman seperti yang ia harapkan.
Varietas idaman itu adalah tah an kurang air, tahan hama, produktivitas tinggi dan umur panennya pendek. Tak bisa dimungkiri, titik lemah padi lokal, salah satunya adalah berumur lama, sekitar 120 hari. Beda dengan beras konsumsi lain yang hanya perlu 90 hari.
Sebuah varietas baru yang belum diberi nama, lanjut Warsiyah, menghasilkan lebih banyak padi dibanding varietas IR 64. "Satu hektar sawah yang ditanami varietas IR 64 menghasilkan 5,5 6,5 ton padi, namun saat ditanami varietas baru hasilnya bisa mencapai 8 9 ton. Benih dari pabrik rakus lahan dan rakus pupuk, juga sering tidak cocok dengan tanah," ujarnya.
Gatot Surono, sesepuh Paguyuban Tani Hari Pangan Sedunia Purbalingga, mengatakan, salah satu varietas silangan yang dibanggakan adalah mutiara. Mutiara yang disilangkan sejak lima tahun ini, adalah hasil persilangan antara padi wulung dari Garut dan pandan wangi dari Cianjur, Jawa Barat.
Padi wulung, tanamannya bagus dan tahan hama namun rasa berasnya agak keras. Sedangkan pandan wangi harum dan enak, tapi tanamannya ringkih. Ada empat jenis hasil silangan, dan Mutiara adalah salah satu dari empat hasil silangan. Mutiara ini, adalah perpaduan sifat baik padi wulung dan pandan wangi, terang Gatot. [oleh: Lukas Adi Prasetya dan Idha Saraswati]
Source Kompas.com/Jumat, 17 April 2009
0 komentar