"Kami telah melewati batas harga diri sebagai manusia dan petani, maka kami dirikan organisasi perjuangan untuk mengakhiri penindasan dan hidup bermartabat sebagai warga bangsa dan kami ingin tunjukkan bahwa kita adalah petani Indonesia, hidup sejahtera, adil dan makmur dan itu tujuan kami berada disini untuk mendirikan Serikat Petani Lumajang"
Cuplikan kalimat tersebut dilontarkan oleh pemimpin organisasi petani Serikat Petani Lumajang dalam rangkaian kegiatan Seminar Kebangkitan Petani dan Konggres Serikat Petani Lumajang di desa Pasru Jambe, Kecamatan Pasru Jambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 9-11 Juni 2008.
Bertempat di balai desa Pasrujambe, Lumajang telah berlangsung hajatan besar jaringan petani lereng semeru yang tersebar di 30 desa dari 11 kecamatan untuk menyatukan diri dalam politik organisasi “garis massa” sekaligus untuk mengakhiri proses sengketa agraria dengan Perhutani wilayah kabupaten Lumajang dalam wadah organisasi perjuangan.
Acara pembukaan dimulai dengan mementaskan tradisi kebudayaan masyarakat petani lereng semeru berupa kesenian reog sebagai wujud penggambaran identitas kultural terhadap keberadaan mereka dan berperadaban di lingkungan alam sekitar. Mereka telah mengamalkan nilai-nilai nasionalisme tanpa kehilangan religiusitas dan sekaligus sebagai politik kebudayaan bahwa mereka mampu berkembang dalam masa globalisasi dimana kurun tersebut ditandai dengan berkembangnya ekstrim fundamentalisme agama dan fundamentalisme gaya hidup global. Dengan mementaskan estetika kesenian reog “Singo Mulya” mereka telah membuktikan bahwa tradisi dan nilai-nilai luhur bangsa mampu mereka pelihara.
Seminar Kebangkitan Petani dalam Tema Rembug Tani dalam Kebangkitan Memperjuangkan Hak-Hak Agraria dimana proses seminar tersebut mengundang Konsorsium untuk Pembaruan Agraria (KPA), Seknas Aliansi Petani Indonesia sebagai organisasi induk dari Serikat Petani Lumajang, Yani Andre dan Darmawan dari Serikat Petani Pasundan, Garut, Jabar dan SD Inpres Jember dan kawan-kawan jaringan pendukung petani seperti KKPM 193 Malang, Gemapalu Lumajang, Kantor Bantuan Hukum untuk Rakyat Jember, Serikat Petani Independen (Sekti) Jember dan beberapa pendamping dari LSM Bina Desa Sadajiwa Jakarta.
Seminar tersebut dihadiri oleh 300 petani anggota SPL dan dibuka oleh Bapak Junaedi selaku Kepala Desa Pasrujambe dan untuk menyemangati perjuangan petani, ibu-ibu petani dari dusun pasrujambe menyanyikan lagu Indonesia Raya stanza III dimana substansi lagu stanza III sangat klop dengan Hak-Hak Petani atas Tanah.
Seminar membicarakan tentang pelbagai kebijakan agraria yang selama ini menyebabkan ketimpangan struktur agraria di wilayah pedesaan Indonesa dan agenda BPN Nasional yang akan melakukan pendataan objek dan subjek agraria di 30 kota atau kabupaten di wilayah selatan pulau Jawa termasuk didalamnya kabupaten Lumajang. Disisi lain, juga diperbincangkan praktek dan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Perhutani wilayah kerja Lumajang dalam menyengsarakan kehidupan petani pinggir hutan dimana rumah tangga petani harus membayar upeti kepada mandor yang mengatasnamakan Perhutani dimana besaran upeti terdiri dari 40 kg kopi kering per musim panen sampe membayar uang sebesar Rp. 200.000 – 600.000 per musim panen. Ditemukan juga bukti setoran yang diedarkan oleh mandor kawasan hutan pasrujambe, wonoayu-cempoko, kenongo, randuagung berupa kertas foto kopi, tidak bertanggal, tidak ditandatangani oleh pihak Perhutani dan hanya cap stempel. Jika ini dibiarkan terus menerus, oknum-oknum tersebut memanfaatkan nama Perhutani untuk menakut-nakuti petani dan untuk kepentingan pribadi.
Proses kriminalisasi terhadap petani yang dilakukan Perhutani juga berlangsung, pada saat konggres berlangsung, 1 orang petani bernama Riyanto umur 27 tahun asal desa Cempoko, Senduro, Lumajang ditetapkan sebagai tersangka dikarenakan laporan dari salah seorang staf perhutani di desa tersebut, Riyanto telah melakukan pencurian dan penebangan pohon dikawasan hutan yang diklaim perhutani sebagai wilayahnya. Berdasarkan keterangan para tokoh masyarakat terdakwa sebenarnya mengambil kayu di kawasan desa bukan masuk kedalam hutan dan menebang pohon. Pada tanggal 17 april, mandor hutan wonoayu desa cempoko bersama polsek setempat memaksa Riyanto untuk menjalani proses verbal BAP di Polres Lumajang.
Konggres Serikat Petani Lumajang menghasilkan 3 keputusan organisasi yang paling penting, yakni keputusan organisasi tentang struktur dan mekanisme, program kerja dan rekomendasi politik. Struktur organisasi SPL bersifat kolektif inti (presidium) dimana struktur tertinggi adalah konggres, kemudian dewan tani berisikan anggota yang berbasis wilayah dan pelaksana harian berbentuk sekretaris jenderal dan anggota kelompok basis yang berbentuk organisasi tani lokal (OTL). Ketua Dewan Tani dijabat oleh Bapak Junaedi dari desa Pasrujambe dan Sekjend SPL dijabat oleh bapak Supangkat dari Desa Krajan, Senduro. Program Kerja SPL yang paling prioritas adalah mengerjakan tanah-tanah okupasi dikawasan hutan lereng semeru yang semenjak tahun 1997 sudah dikuasai dan melakukan proses mediasi dengan pihak BPN untuk melegalkan hak kepemilikan, penataan produksi terutama kopi dan pisang yang dalam hal ini pisang telah mendapatkan akses pasar ke Singapura dan Eropah bekerjasama dengan eksportir pisang yang difasilitasi oleh pihak dinas perkebunan. Tanaman Kopi akan bekerjasama dengan petani reklaiming PTPN XII Kebun Kalibakar, Malang Selatan dimana bentuk kerjasamanya berupa alih tehnologi dan pemuliaan tanaman kopi.
Mengapa dirasakan penting oleh petani anggota SPL ? selama ini tanaman kopi hanya mampu menghasilkan 1 hektarnya sebanyak 300 kg, sesuatu yang berbeda dengan tanaman kopi petani Tirtoyudo Kab. Malang dimana 1 hektar lahan kopi menghasilkan sebanyak 1,5 ton kopi. Dalam waktu dekat masing-masing OTL akan mendata petani kopi berusia 20-30 tahun untuk magang di Serikat petani Tlogomakmur, Kab.Malang (dhink).
Cuplikan kalimat tersebut dilontarkan oleh pemimpin organisasi petani Serikat Petani Lumajang dalam rangkaian kegiatan Seminar Kebangkitan Petani dan Konggres Serikat Petani Lumajang di desa Pasru Jambe, Kecamatan Pasru Jambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 9-11 Juni 2008.
Bertempat di balai desa Pasrujambe, Lumajang telah berlangsung hajatan besar jaringan petani lereng semeru yang tersebar di 30 desa dari 11 kecamatan untuk menyatukan diri dalam politik organisasi “garis massa” sekaligus untuk mengakhiri proses sengketa agraria dengan Perhutani wilayah kabupaten Lumajang dalam wadah organisasi perjuangan.
Acara pembukaan dimulai dengan mementaskan tradisi kebudayaan masyarakat petani lereng semeru berupa kesenian reog sebagai wujud penggambaran identitas kultural terhadap keberadaan mereka dan berperadaban di lingkungan alam sekitar. Mereka telah mengamalkan nilai-nilai nasionalisme tanpa kehilangan religiusitas dan sekaligus sebagai politik kebudayaan bahwa mereka mampu berkembang dalam masa globalisasi dimana kurun tersebut ditandai dengan berkembangnya ekstrim fundamentalisme agama dan fundamentalisme gaya hidup global. Dengan mementaskan estetika kesenian reog “Singo Mulya” mereka telah membuktikan bahwa tradisi dan nilai-nilai luhur bangsa mampu mereka pelihara.
Seminar Kebangkitan Petani dalam Tema Rembug Tani dalam Kebangkitan Memperjuangkan Hak-Hak Agraria dimana proses seminar tersebut mengundang Konsorsium untuk Pembaruan Agraria (KPA), Seknas Aliansi Petani Indonesia sebagai organisasi induk dari Serikat Petani Lumajang, Yani Andre dan Darmawan dari Serikat Petani Pasundan, Garut, Jabar dan SD Inpres Jember dan kawan-kawan jaringan pendukung petani seperti KKPM 193 Malang, Gemapalu Lumajang, Kantor Bantuan Hukum untuk Rakyat Jember, Serikat Petani Independen (Sekti) Jember dan beberapa pendamping dari LSM Bina Desa Sadajiwa Jakarta.
Seminar tersebut dihadiri oleh 300 petani anggota SPL dan dibuka oleh Bapak Junaedi selaku Kepala Desa Pasrujambe dan untuk menyemangati perjuangan petani, ibu-ibu petani dari dusun pasrujambe menyanyikan lagu Indonesia Raya stanza III dimana substansi lagu stanza III sangat klop dengan Hak-Hak Petani atas Tanah.
Seminar membicarakan tentang pelbagai kebijakan agraria yang selama ini menyebabkan ketimpangan struktur agraria di wilayah pedesaan Indonesa dan agenda BPN Nasional yang akan melakukan pendataan objek dan subjek agraria di 30 kota atau kabupaten di wilayah selatan pulau Jawa termasuk didalamnya kabupaten Lumajang. Disisi lain, juga diperbincangkan praktek dan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Perhutani wilayah kerja Lumajang dalam menyengsarakan kehidupan petani pinggir hutan dimana rumah tangga petani harus membayar upeti kepada mandor yang mengatasnamakan Perhutani dimana besaran upeti terdiri dari 40 kg kopi kering per musim panen sampe membayar uang sebesar Rp. 200.000 – 600.000 per musim panen. Ditemukan juga bukti setoran yang diedarkan oleh mandor kawasan hutan pasrujambe, wonoayu-cempoko, kenongo, randuagung berupa kertas foto kopi, tidak bertanggal, tidak ditandatangani oleh pihak Perhutani dan hanya cap stempel. Jika ini dibiarkan terus menerus, oknum-oknum tersebut memanfaatkan nama Perhutani untuk menakut-nakuti petani dan untuk kepentingan pribadi.
Proses kriminalisasi terhadap petani yang dilakukan Perhutani juga berlangsung, pada saat konggres berlangsung, 1 orang petani bernama Riyanto umur 27 tahun asal desa Cempoko, Senduro, Lumajang ditetapkan sebagai tersangka dikarenakan laporan dari salah seorang staf perhutani di desa tersebut, Riyanto telah melakukan pencurian dan penebangan pohon dikawasan hutan yang diklaim perhutani sebagai wilayahnya. Berdasarkan keterangan para tokoh masyarakat terdakwa sebenarnya mengambil kayu di kawasan desa bukan masuk kedalam hutan dan menebang pohon. Pada tanggal 17 april, mandor hutan wonoayu desa cempoko bersama polsek setempat memaksa Riyanto untuk menjalani proses verbal BAP di Polres Lumajang.
Konggres Serikat Petani Lumajang menghasilkan 3 keputusan organisasi yang paling penting, yakni keputusan organisasi tentang struktur dan mekanisme, program kerja dan rekomendasi politik. Struktur organisasi SPL bersifat kolektif inti (presidium) dimana struktur tertinggi adalah konggres, kemudian dewan tani berisikan anggota yang berbasis wilayah dan pelaksana harian berbentuk sekretaris jenderal dan anggota kelompok basis yang berbentuk organisasi tani lokal (OTL). Ketua Dewan Tani dijabat oleh Bapak Junaedi dari desa Pasrujambe dan Sekjend SPL dijabat oleh bapak Supangkat dari Desa Krajan, Senduro. Program Kerja SPL yang paling prioritas adalah mengerjakan tanah-tanah okupasi dikawasan hutan lereng semeru yang semenjak tahun 1997 sudah dikuasai dan melakukan proses mediasi dengan pihak BPN untuk melegalkan hak kepemilikan, penataan produksi terutama kopi dan pisang yang dalam hal ini pisang telah mendapatkan akses pasar ke Singapura dan Eropah bekerjasama dengan eksportir pisang yang difasilitasi oleh pihak dinas perkebunan. Tanaman Kopi akan bekerjasama dengan petani reklaiming PTPN XII Kebun Kalibakar, Malang Selatan dimana bentuk kerjasamanya berupa alih tehnologi dan pemuliaan tanaman kopi.
Mengapa dirasakan penting oleh petani anggota SPL ? selama ini tanaman kopi hanya mampu menghasilkan 1 hektarnya sebanyak 300 kg, sesuatu yang berbeda dengan tanaman kopi petani Tirtoyudo Kab. Malang dimana 1 hektar lahan kopi menghasilkan sebanyak 1,5 ton kopi. Dalam waktu dekat masing-masing OTL akan mendata petani kopi berusia 20-30 tahun untuk magang di Serikat petani Tlogomakmur, Kab.Malang (dhink).
0 komentar